"Our lives are stories, waiting to be told."
•••
One
Bulan purnama sedang bersandar tenang pada langit, melakukan kewajibannya menerangi perkotaan. Kelap-kelip cahaya lampu juga tak luput, benar-benar terlihat indah dari atap hotel yang ditempatinya sekarang. Pepohonan yang terlihat di beberapa pekarangan warga jadi pelengkap pemandangan, keramaian malam kota jadi pengiringnya. Sungguh ini malam yang sangat sempurna. Tapi tidak untuk laki-laki berumur 23 tahun yang sudah di ambang kehancuran itu. Satu langkah ke depan, maka ia akan terjatuh dari hotel bintang lima 20 lantai yang ditapakinya, melawan takdir untuk mengakhiri eksistensinya ketika Tuhan belum mengirimkan malaikat maut.
Sedikit merasa ingin memutar otaknya mengingat memori-memori paling indah yang pernah dirasa, tapi apa daya, ia tidak punya. Masa lalunya sekelam malam, terselimut bayang-bayang mengerikan. Hidupnya sudah hancur. Rasanya ia sudah jadi manusia paling hina di alam semesta ini, membuatnya jijik hanya untuk melihat mukanya sendiri di cermin. Topeng-topeng kebahagiaan yang dia kenakan sudah berkali-kali dirusak dan ternodai, hancur lebur dan teronggok bisu dalam lautan darah yang kelewat sering dilihatnya. Rasa sakit, penderitaan, kehilangan, kehampaan, kesedihan, amarah, dan dendam sudah menelannya, membuat senyum paksaannya mutlak luntur. Ia tidak pernah tersenyum lagi selama tiga tahun ini, sudah ia buang jauh-jauh semua topeng busuknya.
Tidak ada lagi yang ia miliki di dunia ini, kehidupan telah menelannya bulat-bulat. Hanya menyisakan hatinya yang bahkan sudah tak berbentuk, dipenuhi lakban di sana-sini. Hatinya kosong, hidupnya tak lagi bermakna. Kalaupun malaikat maut benar-benar datang detik ini juga, ia tidak punya apa-apa lagi untuk dirindukan, maka kematiannya tidak akan sia-sia.
Memantapkan hati, satu langkah saja dan ia akan meninggalkan dunia ini. Akankah rasanya sakit? Atau terasa melegakan? Bagaimana rasanya ketika tulang-tulangmu patah dan jadi tak beraturan ketika jatuh dari sebuah hotel yang memiliki 20 lantai? Akankah tulang kepalamu pecah dan menyebabkan tubuhmu tenggelam oleh darahmu sendiri? Ia tidak akan tahu sebelum mencoba.
Tepat sebelum ia melangkah, sebuah lingkaran hitam yang cukup besar terbentuk secara ajaib di depannya. Dari sana, lima meter di hadapannya, makhluk aneh dengan jubah dan tudung hitam muncul, membawa sebuah sabit hitam besar. Apakah itu malaikat maut?
"K-kau-"
"Aku Death, Malaikat Kematian. Atau yang lebih dikenal Malaikat Maut oleh para manusia." Suaranya berat dan sungguh dalam, bahkan ia sempat menafsirkan suaranya sedalam samudra. Walau itu tidak mungkin.
"A-apa aku sudah mati?"
"Belum. Tapi melihat catatan kehidupan dan niatmu melawan kehendak Tuhan untuk mati sekarang, aku akan mencabut nyawamu sebelum kau menyentuh tanah, jadi kau akan mati sebelum tulang-tulangmu hancur lebur di bawah sana,"
Ia menunduk mendengar penjelasan makhluk di hadapannya, sekali lagi kembali ragu. Perwujudan Malaikat Kematian sudah ditampakkan di hadapannya, maka harusnya ia senang karena Malaikat Kematian akan menghapus kehadirannya di dunia ini tepat sebelum membentur tanah sehingga ia tak akan tahu rasa sakitnya. Tapi ... mengapa terasa salah?
Melihat keraguan calon korbannya, Death terkekeh menyeramkan, menyeringai lebar walau jelas tidak akan terlihat karena tudung jubahnya menciptakan bayangan hitam yang cukup untuk menutupi seluruh wajahnya. "Kau takut, eh?"
Hendak membantah tapi tidak bisa mengelak, laki-laki itu terdiam menunduk, matanya mulai berair. Ia sudah tidak punya apa-apa lagi, untuk apa merasa ragu?
"Bisakah cepat sedikit? Aku tidak bisa membelah diriku sendiri, dan setiap detiknya akan ada manusia yang mati. Kau membuang waktuku di sini," Death mulai tidak sabar. "Kuberi waktu tiga detik. Satu,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners [NamJin]
Fanfic[ S L O W U P D A T E ] Seokjin sudah terlalu lelah untuk terus bertahan hidup, ia hanya ingin semuanya berakhir dengan cepat. Satu langkah lagi, kehadirannya di dunia akan sempurna hilang. Namun, ketika dihadapkan dengan Malaikat Kematian, Seokjin...