"And judgement taught us, that our hearts were wrong,"
•••
Twelve
Hari ini, Namjoon diajak Lucifer untuk mengikuti pertemuan rutin antar-iblis. Ini bukan pertama kalinya Namjoon diajak, bahkan Lucifer sebenarnya selalu mengajaknya. Tapi Namjoon tidak pernah menyanggupi ajakan tersebut, ia menolak dengan bilang bahwa ia akan mati bosan. Apalagi ia hampir bisa menebak isi pertemuan itu yang pasti hampir selurunya dipenuhi oleh Satan yang marah-marah, Leviathan yang mendebat penuh rasa iri, Mammon yang sibuk mendeklarasikan keinginannya untuk memiliki segala hal di dunia itu, Beelzebub yang ribut meminta makanan dan hanya terus-terusan memakan segala jenis camilan aneh yang selalu ia bawa kemana-mana, Belpeghor yang malas-malasan dan bahkan tidak mendengarkan sama sekali, dan Lucifer yang harus dengan sabarnya terus-terusan menenangkan Satan yang mengamuk atau menegur Belpeghor yang kedapatan tertidur. Hanya Asmodeus yang menyimak dengan normal, sesekali menanggapi walau dengan mukanya yang sebenarnya amat mengundang hawa nafsu. Tapi tidak, baik Lucifer dan semua iblis di ruangan itu tentunya tidak ada yang tergoda.
"Ini sudah pertemuan yang kesekian kalinya, dan kau masih tetap mau menolak ikut?" Lucifer menatap Namjoon datar. Akhir-akhir ini, intensitas pertemuannya dengan Rafael yang bertambah membuatnya makin melankolis setiap harinya dan Lucifer makin kehilangan sikap tenangnya, sikap sombongnya. "Bisakah sekali saja kau ikut?"
Namjoon menggeleng. "Sekali tidak tetap tidak, Ayah,"
"Lalu bagaimana kau akan menjadi penerusku nanti jika kehadiranmu tak pernah nampak pada satupun pertemuan yang ada?"
"Aku bisa jadi penerusmu dan mengurus Neraka dengan caraku sendiri. Jangan paksa aku,"
"Kau tidak bisa, Namjoon."
"Aku bisa," Namjoon menatap lurus kedua mata ayahnya penuh kesombongan, ketika ia akhirnya menyadari, ada sebuah perasaan tak terdefinisi yang terpancar jauh di dalam matanya. Namjoon sempat ragu sejenak untuk melanjutkan ucapannya, dalam pikirannya ia berusaha menafsirkan apa arti tatapan Lucifer yang entah sejak kapan sudah hilang kesombongannya.
Entahlah, Lucifer terlihat ... merindukan sesuatu?
"Apa yang membuatmu begitu yakin, Namjoon?" Lucifer bertanya lagi, namun tatapan penuh kesombongan itu tak pernah muncul lagi di kedua matanya.
"Karena aku jauh lebih hebat darimu, Ayah."
Keheningan menyelimuti sejenak, Namjoon yang masih sibuk menerjemahkan sikap aneh Lucifer, dan Lucifer yang sedang berusaha mati-matian untuk membalas ucapan sombong anaknya barusan dengan ucapan sombong lainnya.
Tapi, Lucifer sedang lemah.
Ia berakhir hanya dengan menggelengkan kepalanya pelan dan menghela napas dalam-dalam. "Pertemuannya akan berlangsung satu jam lagi,"
Lucifer berbalik badan, hendak meninggalkan Namjoon. Ia ingin sekali menyendiri saat ini, lagi-lagi harus merenungi kenangan menyebalkan yang entah mengapa semakin banyak yang kembali menyeruak, membuatnya sampai jadi lemah begini.
Iblis tidak punya hati, dan seharusnya memang tidak, bukan?
Tapi, Lucifer melupakan sebuah kenyataan penting.
Bahwa ia,
Masih punya hati.
Namjoon berpikir ribuan kali ketika melihat ayahnya beranjak pergi. Sungguh, Lucifer aneh sekali. Perangainya terlampau aneh hingga Namjoon tidak yakin bahwa ia benar-benar Lucifer. Ia berdebat dengan dirinya, haruskah ia menanyakan keadaan ayahnya atau justru menghina Lucifer dengan penuh kesombongan? Pilihan pertama itu benar-benar bukan dirinya. Tapi, bukankah pilihan yang kedua itu juga kelewat kurangajar? Namjoon tentu tidak sejahat itu, bukan? Dan kenapa Namjoon jadi memikirkan ucapannya sekarang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners [NamJin]
Fiksi Penggemar[ S L O W U P D A T E ] Seokjin sudah terlalu lelah untuk terus bertahan hidup, ia hanya ingin semuanya berakhir dengan cepat. Satu langkah lagi, kehadirannya di dunia akan sempurna hilang. Namun, ketika dihadapkan dengan Malaikat Kematian, Seokjin...