•••
Thirty Eight
"Kau itu anakku atau bukan?" intonasinya datar, tapi terdengar amarah yang terselip samar. "Berhenti lampiaskan emosimu padanya atau dia akan mati di tanganmu sendiri,"
"Tapi dia menemuinya!" raungan amarah. "Aroma busuk itu ... aku yakin tidak salah! Kenapa dia menemuinya, hah?!"
Ia menghela napas berat. "Aku tahu hatimu sakit. Tapi membuatnya sekarat tidak akan menjadikanmu lega. Kepala dingin, Namjoon. Selesaikan semuanya dengan kepala dingin. Kau bukan Satan yang perlu amarah di setiap langkahmu. Kita ini mewakili Dosa Kesombongan. Kau tidak bisa menunjukkan dirimu yang kalah pada trauma di hadapan dunia,"
Sayup-sayup dapat terdengar pembicaraan dua orang dari luar sebelum kedua matanya sanggup terbuka. Kesadaran Seokjin telah kembali, disusul perih yang melingkari lehernya. Seokjin membuka matanya, mendapati diri sedang berbaring di kamar Namjoon.
Tangannya terulur meraba leher, sebuah perban telah menempel di sisi kiri bagian belakang lehernya. Masih terasa sedikit perih dan paru-parunya agak sesak, tapi Seokjin pernah mengalami yang lebih berat. Ia lantas duduk, kembali mendengarkan percakapan yang sejak tadi memasuki alam bawah sadarnya.
"Apa kau masih begitu yakin dengan pemikiranmu sendiri?"
"Aku ... yakin,"
"Kau sungguh, meyakini bahwa sahabatmu yang melakukannya? Bahwa sahabat terbaikmu, yang membuat Ashley pergi selamanya?"
Hening.
"Sekali lagi aku ingatkan, Namjoon. Kita Iblis Kesombongan. Jangan menyerah pada trauma menyedihkan yang membuat wibawamu hilang. Lihat ke depan dan hadapi dengan percaya diri. Jangan terus berlari, Namjoon," perintah Lucifer mutlak. "Jangan sepertiku,"
Seokjin menghela napas. Ia sudah tahu apa yang menyebabkan Namjoon hilang kendali ketika ia bahkan belum sadar di mana kakinya menapak.
Pasti tercium aroma fallen-angel darinya. Ia baru saja mampir, singgah, duduk dengan santai di ruang tamu milik sebuah keluarga fallen-angel. Tentu feromon milik mereka akan menempel kuat.
Seokjin sebenarnya juga belum mendengar cerita dari sisi Geumjae. Bagaimana kebenaran di balik tragedi naas yang menewaskan cinta pertama Namjoon hari itu, dan mengapa Geumjae tetap bungkam meski Namjoon telah begitu murka.
Ketika Seokjin singgah di sana, suaranya tak pernah muncul kala pertanyaan tentang hari itu telah sampai di ujung lidahnya. Mendadak kelu, Seokjin menemukan dirinya merasa takut. Takut akan ada hal-hal tidak menyenangkan yang ia dengar. Geumjae juga kelihatannya sama sekali tidak tertarik, atau belum ingin, bercerita apapun. Seokjin mencoba mengerti, berulang kali mengatakan pada dirinya sendiri bahwa Geumjae mungkin saja masih butuh waktu.
Baik Geumjae maupun Namjoon, masih butuh waktu untuk menerima semuanya.
Menerima kehilangan.
Menerima rasa sakit luarbiasa yang terus dihindari dan tersimpan rapi di sudut hati.
Menerima kenyataan, bahwa tiada lagi si gadis cantik sempurna di dunia ini.
Pintu yang terbuka membuat Seokjin menengadahkan kepalanya, pandangannya terkunci ke mata gelap Namjoon yang juga menatapnya. Iblis itu mendekat dan duduk di sebelah Seokjin yang masih bersandar pada dinding.
Mereka tidak saling berbicara, hanya deru napas yang terdengar berat di kepala. Atmosfer ruangan terasa dingin, aneh, padahal ini Neraka.
"Kau sudah bangun," suara berat Namjoon memecah hening yang berlalu beberapa saat. Bukan pertanyaan, ia hanya basa-basi. "Aku ... yah. Kau tahu aku sulit mengatakannya,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners [NamJin]
Fanfiction[ S L O W U P D A T E ] Seokjin sudah terlalu lelah untuk terus bertahan hidup, ia hanya ingin semuanya berakhir dengan cepat. Satu langkah lagi, kehadirannya di dunia akan sempurna hilang. Namun, ketika dihadapkan dengan Malaikat Kematian, Seokjin...