"but we'll defy the rules until we die,"
•••
Fifteen
Seokjin dan Namjoon berjalan berdampingan lagi seperti kemarin. Bedanya, kali ini Seokjin memusatkan pikirannya untuk menjaga Namjoon, menghentikan acara marah-marah atau mengamuknya nanti kepada siapapun yang akan mereka temui. Seokjin hanya tahu satu hal, mereka akan menemui Jimin yang entah bagaimana sedang berada bersama seorang fallen-angel di sebuah tempat antah berantah. Yah, ia juga tidak terlalu mengerti.
"Kenapa tidak menuju langsung ke tempatnya?" Seokjin bertanya sambil mengedarkan pandangannya. "Sepertinya dengan berjalan begini hanya membuang-buang waktu saja,"
"Tidak ada yang bilang ini hemat waktu, Seokjin."
Seokjin memutar bola matanya kesal. "Maksudku, untuk apa kau repot-repot membuang waktu begini?"
"Seharusnya kau bersyukur sedikit," Namjoon menyibak rambutnya ke belakang, menambah aura kesombongannya yang berusaha ia bangkitkan lagi. "Aku jadi tidak perlu marah-marah dengan cepat,"
"Oh, ya, aku sangat bersyukur,"
Hening lagi. Seokjin memperhatikan sekitarnya, mereka sedang berjalan di kompleks pemukiman warga yang tidak terlalu ramai. Jalanan ini menanjak di ujungnya, dan sepertinya semakin mereka naik ke sana, semakin sedikit pula perumahan yang ada. Seokjin masih biasa-biasa saja, ketika mereka melewati sebuah rumah yang berada paling ujung, tepat sebelum tanjakan. Rumah itu terlihat gosong, sebuah rumah yang ditinggalkan sehabis terbakar. Tanpa sadar, ia berhenti sejenak sambil mengamati rumah yang sudah tak berbentuk itu, tak peduli dengan Namjoon yang masih terus berjalan. Rumah itu mengingatkannya, akan sekeping kenangan masa kecilnya yang berharga.
•
"Hyung!" suara seorang anak kecil menggema dari luar pintu kamar Seokjin diiringi derap langkah kaki yang terdengar gaduh. Pintu menjeblak terbuka, menampilkan seorang anak laki-laki yang lebih muda tiga tahun darinya, sedang nyengir amat lebar dan ngos-ngosan sehabis berlari. Ia mendekati Seokjin, di tangannya terdapat sebuah kertas yang sepertinya sudah digambari.
"Jangan lari-lari begitu, Hyunseo. Kalau jatuh bagaimana?"
Hyunseo pura-pura tidak dengar, ia naik ke kasur Seokjin dan menunjukkan kertas yang dibawahnya. Di sana terlihat potret sebuah keluarga, kakek-nenek, ayah-ibu, Seokjin dan Hyunseo, sedang berdiri di depan rumah mereka yang besar, ditemani seekor anjing husky kesayangan mereka, Odeng.
"Barusan aku menggambarnya, hyung!"
Seokjin tersenyum. "Oh ya? Bagus sekali gambarmu,"
"Ah, tapi warnanya tidak bagus, kan?" Hyunseo cemberut. "Aku tidak bisa menemukan warna kuning, jadi mataharinya kuwarnai merah,"
"Tidak apa-apa, itu sudah bagus sekali," Seokjin mengusap rambut Hyunseo lembut. "Apakah kau sudah menunjukkannya kepada yang lain?"
"Ah, iya! Aku mau tunjukkan ke Appa dan Eomma!" Hyunseo langsung semangat lagi, ia turun dari kasur dan berlari menuju pintu. "Daahh, hyung!"
"Jangan lari-lari, Hyunseo!"
Pintu ditutup, derapan kaki-kaki Hyunseo terdengar menjauh.
"Aigoo, anak itu ..."
Seokjin menggeleng pelan, mengamati pintu yang baru saja tertutup sambil mendengarkan sayup-sayup suara Hyunseo berlari yang akhirnya menghilang.
Jujur saja, meski tanpa orangtua, hidup Seokjin sampai hari ini masih sangat menyenangkan. Ia punya paman dan bibi yang menyayanginya, kakek dan nenek yang amat perhatian dan menjaganya, serta Hyunseo, sepupunya yang selalu ceria dan mencerahkan hari-harinya. Ada juga Odeng, peliharaannya yang selalu menghibur Seokjin ketika ia sedang teringat dengan masa lalunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners [NamJin]
Fiksi Penggemar[ S L O W U P D A T E ] Seokjin sudah terlalu lelah untuk terus bertahan hidup, ia hanya ingin semuanya berakhir dengan cepat. Satu langkah lagi, kehadirannya di dunia akan sempurna hilang. Namun, ketika dihadapkan dengan Malaikat Kematian, Seokjin...