• 11 : Date? •

509 79 7
                                    

"We're making enemies, knocking on the devil's door."

•••

Eleven

Namjoon lagi-lagi sedang berduaan dengan Seokjin di bumi, berjalan-jalan riang. Keduanya beriringan tanpa suara, Namjoon dengan tatapan antusias sambil memperhatikan lautan manusia di sekitarnya, Seokjin menunduk trauma, tidak ingin terlihat mencolok atau menarik perhatian. Tapi, sepertinya, hal itu sia-sia saja karena iblis di sebelahnya ini justru sibuk menonjolkan dirinya. Tahulah, iblis yang penuh kesombongan itu pasti ingin jadi pusat perhatian.

Mereka berdua benar-benar jalan kaki, Namjoon total menolak dan melarang penggunaan portal untuk pindah tempat. Kecuali ketika mereka pergi ke bumi dan untuk kembali lagi, tentunya. Mustahil, kan, berjalan kaki berpindah dimensi?

Sebenarnya, Seokjin masih malu sekali kalau harus bertatap muka dengan Namjoon. Apalagi setelah pernyataan cinta dari iblis itu yang mengatakan ingin secara tidak resmi memiliki Seokjin untuk dirinya sendiri.

Oh, jadi kau ingin yang resmi? Suara dalam kepala Seokjin muncul tiba-tiba.

Seokjin salah tingkah, pipinya bersemu sampai telinga. Sudah hampir mirip kepiting rebus, ia makin menundukkan pandangannya, berjalan dengan tatapan terarah ke sepatunya. Keberuntungan sedang berpihak pada Seokjin tentunya, karena Namjoon masih sibuk tebar pesona, hanya untuk mendapat sanjungan singkat dari sekelompok manusia yang bilang Namjoon tampan, keren, dan sebagainya. Kadang, ada yang benar-benar keterlaluan sebenarnya. Beberapa kali lewatlah sekumpulan cewek-cewek SMA dengan seragam kekecilan tiba-tiba mengedipkan sebelah mata mereka dengan centil ke arah Namjoon yang balas tersenyum. Itu senyum penuh kesombongan yang jadi andalannya, tentu saja. Tapi gadis SMA labil itu menganggap senyuman Namjoon bagai gulali amat manis yang harus dimiliki. Sungguh, Seokjin ingin sekali membakar sekumpulan manusia itu jadi debu, detik itu juga.

Oh, kau cemburu.

Tidak, tidak! Seokjin tidak cemburu. Dia tidak pernah cemburu. Untuk apa mencemburui sesuatu yang tidak penting seperti itu? Ia hanya kesal. Ya, kesal, melihat penampilan anak-anak SMA labil yang tidak menghargai sekolah mereka. Bagian mananya tidak menghargai? Itu, ketika Seokjin menyebut seragam mereka kekecilan. Seokjin hidup sebagai manusia selama dua puluh tiga tahun, dan ia lebih dari tahu kalau anak-anak seumuran mereka sedang senang-senangnya menampilkan diri.

Bilang saja kau cemburu.

Sialan. Seokjin rasanya terbakar dari dalam, kesal setengah mati dengan suara monolog yang terus-terusan berbicara dan mempengaruhi dirinya. Ayolah, sosok yang sedang jadi bahan pembicaraan itu masih ada di sebelahnya! Tidak lucu kalau ia tiba-tiba bisa menebak isi kepalanya!

Namjoon tiba-tiba terkekeh lirih, hampir tidak terdengar. Tapi Seokjin amat peka.

Atau ... jangan-jangan ... Namjoon bisa—?

"Hei, kau—" Seokjin sudah hendak marah, dengan muka merah sempurna, kali ini mengalahkan kepiting rebus.

Pangeran Neraka itu menoleh dengan muka tak berdosa, berlagak seolah tidak tahu apapun yang membuat Seokjin merona hebat. Namjoon menaikkan sebelah alisnya, tanpa menghilangkan senyum penuh kesombongannya itu. Seokjin tiba-tiba merasa salah tingkah sendiri.

Memangnya, kau yakin dia bisa mendengarmu?

Yah ... itu kan hanya dugaannya saja. Seokjin memang bisa sedikit-sedikit mengetahui apa yang sedang berkecamuk di dalam pikiran Namjoon, tapi ... itu tidak berarti sebaliknya, bukan? Lalu, kalau Namjoon juga bisa mengetahui isi kepalanya, seharusnya ia bisa tahu kalau Seokjin sekarang sedang memiliki banyak sekali pikiran yang berterbangan ini kan?

Sinners [NamJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang