"You showed me feelings I've never felt before,"
•••
Ten
"Bagaimana, Rafael?" Ramiel bertanya, sudah siap untuk kembali mengadili Pangeran Neraka yang lagi-lagi melanggar aturan. "Kapan kita akan pergi?"
Rafael mendesah pelan. Barusan, ia bertemu dengan Lucifer di Grey Ground dan entah untuk keberapa kalinya, mendapatkan permohonan agar Namjoon dibebaskan dari segala konsekuensi yang seharusnya ia terima atas pelanggaran yang dilakukannya. Tapi, terpujilah Rafael dengan seluruh kebaikan dan kerendahan hatinya, menyanggupi permohonan Lucifer yang rela menurunkan harga diri hanya untuk Namjoon seorang.
"Lupakan saja masalah itu," Rafael berujar dengan pasrah sekali. "Aku tidak akan mengadilinya."
"Apa-apaan?!" Uriel berseru tidak terima, menggebrak meja dengan keras sampai harus berdiri dari duduknya. "Kau berubah pikiran kurang dari tiga jam?!"
Rafael sudah menduga akan seperti ini. Ini belum seberapa, dibanding dengan respon yang akan ia dapatkan nanti dari seluruh penghuni surga. Ini tidak ada apa-apanya.
"Ya, aku berubah pikiran,"
"Kenapa?" Gabriel bertanya, "apa yang membuatmu berubah pikiran?"
Dijawab dengan gelengan semata, Rafael enggan menjelaskan. Selama ini tidak pernah ada yang tahu bahwa alasan dibatalkannya pengadilan Namjoon adalah karena Lucifer yang memohon-mohon, dengan sangat, dan Rafael yang selalu berbaik hati mau membantunya. Membantu sahabatnya yang pernah begitu ia kasihi.
Bahkan setelah Lucifer dibuang ke neraka, Rafael masih menganggapnya seperti kakak kandungnya sendiri.
Dan Rafael tidak tahu apakah itu baik atau buruk.
Ruangan itu tiba-tiba berasa jadi medan pertempuran, tatapan tajam dan tidak terima berasal dari lima pasang mata menghunus tajam kearah Rafael. Hanya Ramiel yang duduk dengan tenang, memasang wajah penuh senyumnya seperti biasa, dan menerima keputusan tegas Rafael dengan hati lapang. Ramiel tahu persis, bagaimana hubungan Lucifer dan Rafael dulu, sebelum Lucifer ditendang dari sini. Kedua orang itu sudah jadi kakak-beradik yang kompak sekali, paling kuat, paling menyenangkan untuk dilihat. Sampai kemudian Lucifer dengan tiba-tiba, nekat menemui Tuhan dan menantangnya. Ah, masa-masa itu adalah masa paling berat untuk Rafael karena harus kehilangan seseorang yang sangat berarti untuknya.
"Kau ... tidak merasa kasihan dengan iblis itu, bukan?" Uriel bertanya kesal. "Kau tidak iba dengan mereka, bukan?!"
Rafael hanya menghela napas, tidak ingin berdebat dengan adiknya.
"Tidak perlu marah-marah, Uriel," Azrael berujar dengan tenang. "Tidakkah kau lihat, Rafael kelelahan sekali?"
"R-Rafael," Gabriel bersuara, ia menautkan jari-jarinya sendiri dengan gugup, takut Rafael akan memarahinya. "Apakah ... ada yang terjadi?"
Lagi-lagi menggeleng disertai helaan napas yang terdengar kelelahan, Rafael kemudian pergi dari ruangan itu dan menuju ke lantai kekuasaannya, menghabiskan waktu hanya untuk merenungkan kata-kata yang sekiranya tepat untuk ia lontarkan kepada seluruh penghuni surga nanti, dan mengenang lagi masa-masa ketika ia dan Lucifer masih menjadi sahabat yang dekat sekali.
•
Lucifer diam tak bergerak, menatap salju yang terus turun, membuat dingin lingkungan sekitarnya. Sesekali ia akan menangkap butiran salju itu yang lantas meleleh dalam waktu kurang dari satu detik karena suhu tubuhnya yang begitu kontras, tinggi sekali karena ia adalah seorang iblis. Penguasa neraka, yang hampir tak punya hati nurani dan belas kasih pada sesama. Tidak biasanya Lucifer melankolis begini, tapi, setiap kali ia bertemu dengan Rafael, rasa-rasanya semua kenangan mereka berdua di masa lalu langsung menyeruak masuk, mendobrak benteng pertahanannya, membuka kembali sedikit hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners [NamJin]
Fanfiction[ S L O W U P D A T E ] Seokjin sudah terlalu lelah untuk terus bertahan hidup, ia hanya ingin semuanya berakhir dengan cepat. Satu langkah lagi, kehadirannya di dunia akan sempurna hilang. Namun, ketika dihadapkan dengan Malaikat Kematian, Seokjin...