• 18 : The Memory Under The Rain •

422 40 7
                                    

"The world may disapprove, but my world is only you,"

•••

Eighteen

Rafael duduk termenung di singgasana putih bersihnya, merenung. Keadaan di Surga setelah keputusan besarnya yang membatalkan pengadilan terhadap Namjoon itu makin mengkhawatirkan setiap harinya, karena Rafael sampai detik ini masih belum juga memberikan penjelasan sedikitpun kepada seluruh penghuni Surga. Entah darimana juga kabar pelanggaran Namjoon tersebar, padahal Rafael belum membicarakannya sama sekali. Ia tentunya tidak ingin berburuk sangka kepada siapapun, tapi pikiran itu pasti terlintas dalam benaknya hampir tiap beberapa jam. Kepalanya terasa akan meledak sebentar lagi.

Beberapa menit berlalu dengan sia-sia, Rafael beranjak dari duduknya, mendekati sebuah pigura yang terpajang rapi di salah satu sudut ruangannya dengan letak yang cukup tersembunyi.

Sebuah pigura yang menampilkan potret dirinya dengan seseorang yang selalu dikasihinya sejak dulu.

Seseorang yang kini harusnya jadi musuh besarnya.

Lucifer.

Dalam foto itu, Lucifer masih mengenakan pakaian yang dikenakan para malaikat, pakaian suci yang putih bersih dengan beberapa sentuhan warna emas di tepinya. Dengan sepasang sayap putih lembut yang terlihat tebal, serta sebuah mahkota emas yang terlihat amat pas untuknya, Lucifer tersenyum lebar penuh percaya diri. Rafael yang berdiri di sebelahnya, mengenakan pakaian yang sama, sebaliknya, hanya menampilkan senyuman tipis penuh kerendahan hati. Mereka berdua memang terlihat sangat kontras, tapi Lucifer selalu menjadi kakak yang sangat baik untuknya.

Rafael masih tidak bisa lupa, bagaimana ia menyaksikan Lucifer yang dijatuhi bukan hukuman mati, tapi hukuman yang jauh lebih hina daripada dijatuhkan ke bumi dan jadi fallen-angel. Bagaimana Lucifer terlihat amat kesakitan ketika kedua sayap putihnya bertransformasi menjadi sehitam malam dengan setiap bulu yang rontok secara perlahan, menyisakan bentuk yang mirip kelelawar. Bagaimana mahkotanya terbakar habis, seiring dengan sepasang tanduk raksasa yang kelewat menyeramkan tumbuh dari kedua sisi kepalanya dan sebuah ekor panjang dengan sebuah bentuk menyerupai panah tajam yang jadi ujungnya. Bagaimana setelah segala rasa sakit yang membuatnya berteriak penuh penderitaan, ia lantas tersenyum penuh kesombongan sambil menatap seluruh penghuni Surga, mengganti pakaiannya menjadi pakaian iblis dengan sebuah jentikan jari, dan meninggalkan tempat itu dengan tawa penuh kesombongan.

Bagaimana Lucifer pergi, dengan tatapan sombong yang terpancar jauh lebih jelas, dan mata kemerahan seorang iblis.

Bagaimana Lucifer pergi, tanpa pernah melihat kearahnya lagi.

Rafael tidak akan pernah bisa lupa sampai kapanpun.

Tok tok ...

Sebuah ketukan di pintu. Rafael berjengit kaget, menatap pintu dengan waspada. "Siapa?"

"Ramiel,"

Rafael menghela napas lega, ia membalikkan badannya dan kembali menatap pigura yang tadi sempat membuatnya teringat akan masa lalu. "Masuklah,"

Ramiel membuka pintu dengan anggun, ia menemukan Rafael sedang ada di sudut ruangan menatap sesuatu yang ia tahu persis apa itu. Setelah menutup pintu, Ramiel menghampiri kakaknya tanpa mengucap sepatah kata. Ia tidak ingin dengan lancangnya merusak momen Rafael untuk menyendiri, tentunya.

Pikiran Rafael masih berkelana selama beberapa menit lagi, sebelum akhirnya ia sadar bahwa Ramiel tengah menunggunya dengan sangat sabar.

"A-ah, maaf!" Rafael membalikkan badannya. Ramiel tersenyum penuh pengertian, berjarak hanya beberapa langkah darinya. "Ada apa?"

Sinners [NamJin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang