"and if we're sinners, then, it feels like heaven to me."
•••
Nineteen
Beberapa hari ini, hidup Seokjin rasanya lebih ringan. Acara maaf-maafan yang sempat terjadi saat itu membuatnya secara tidak sadar mulai memaafkan dirinya sendiri dan masa lalunya secara perlahan. Namjoon juga berubah sombong lagi seperti biasa, seakan-akan dirinya yang sempat berubah jadi manis sekali itu tidak pernah ada sebelumnya. Mereka masih saling ejek dan adu mulut hampir setiap saat, walau kadang Namjoon mengalah dan membungkam mulutnya bagai anak penurut untuk kemudian mengajak Seokjin berdebat lagi beberapa menit kemudian.
Lucifer juga terlihat agak membaik, walau Namjoon kadang masih mendapati ayahnya itu terlihat dipenuhi kesedihan yang mendalam. Semua pertanyaan Namjoon tentang itu tentu saja diabaikan dengan sia-sia, jadi Namjoon hanya mengomentari kesedihan ayahnya dengan meledeknya penuh kesombongan.
Namjoon dan Seokjin, seperti kebiasaan mereka yang sepertinya kini jadi kewajiban, sedang ada di bumi. Kali ini Namjoon yang memimpin, mereka sedang membaur dengan manusia, menatap pemandangan air terjun yang sangat indah. Niagara Falls. Ini adalah pertama kalinya setelah bertahun-tahun hidup dalam kegelapan, Seokjin melihat sesuatu yang seindah ini. Suara riuh air terjun sama sekali tidak berisik, justru membuatnya merasa tenang. Cuaca yang tidak terlalu panas itu membuatnya betah berlama-lama di sana.
"Aku tidak pernah melihat sesuatu seindah ini ..."
Namjoon mendengus pelan. "Siapa suruh kau hidup dengan menyedihkan seperti itu?"
"Hei, aku tidak memintanya!" Seokjin meninju lengan Namjoon kesal. "Aku tidak menginginkan hidup yang seperti itu, tahu!"
"Ya, benar sekali," Namjoon mengedikkan bahu tidak peduli. Ia berbalik badan, berhenti memandangi air terjun dan beralih memperhatikan para manusia yang berlalu-lalang. Berburu roh dosa sepertinya lebih menarik daripada sekedar memandangi air yang tumpah dari tebing hanya untuk mengalir kesana-kemari dan tumpah lagi. Lagipula, Namjoon bisa kesini kapan saja ia mau. Tapi untuk roh dosa, sekali saja ia melewatkannya, maka itu bisa jadi amat berbahaya.
Seokjin memandang Namjoon yang fokus berburu dalam diam, ia menghela napas. Benaknya dipenuhi pertanyaan besar beberapa hari ini, sebuah pertanyaan yang tak kunjung dapat jawaban. Sebuah pertanyaan yang membuat Namjoon kesal setengah mati, bahkan mungkin bisa sampai mengamuk.
Sebuah pertanyaan, mengapa Namjoon begitu membenci fallen-angel.
Ketika ia bertemu dengan fallen-angel itu, Yoongi, Seokjin tidak tahu harus berkata apa. Yoongi sangat indah, kulitnya seputih mayat, tapi terlihat selembut kapas. Tatapan matanya datar menusuk, dengan kata-kata pedas tak kalah menusuk dari mulutnya yang hampir menyaingi Namjoon. Dan Seokjin juga tidak lupa, betapa indahnya sayap Yoongi yang berwarna abu-abu itu terlihat tebal dan penuh bulu, tidak seperti sayap Namjoon yang kurus kering bak kurang gizi.
Seokjin tidak mengerti, bagaimana bisa Namjoon membenci makhluk itu?
Ia sendiri tidak yakin bahwa ia bisa membencinya.
"Hei, Namjoon," dengan masih tetap memandang keindahan air terjun, Seokjin memberanikan diri untuk bertanya.
"Hm?"
"Kau tidak berniat untuk memberitahuku?"
Namjoon menoleh sekilas, tapi Seokjin tidak balas menatapnya. Ia kembali fokus berburu. "Memberitahu apa?"
"Hmm ..." Seokjin diam sejenak, mempertimbangkan pertanyaannya sendiri. Namjoon tidak akan marah, bukan? Kalau iblis itu murka, apa yang harus ia lakukan? Membuka portal dan langsung pergi ke Demory? Dan meninggalkan Namjoon membunuh semua manusia di sini tanpa sengaja? Yah, sepertinya Seokjin tidak sebodoh itu. "Ya ... sesuatu yang berhubungan dengan masa lalumu, mungkin?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners [NamJin]
Fanfiction[ S L O W U P D A T E ] Seokjin sudah terlalu lelah untuk terus bertahan hidup, ia hanya ingin semuanya berakhir dengan cepat. Satu langkah lagi, kehadirannya di dunia akan sempurna hilang. Namun, ketika dihadapkan dengan Malaikat Kematian, Seokjin...