•••
Forty Four
Kondisinya total mengerikan. Pekarangan rumah itu gersang tanpa nyawa, aura gelap mencekam menguar hebat dari Namjoon yang sedang mencekik Geumjae tanpa ampun. Seokjin di teras terbaring tak berdaya, tidak ada yang tahu apakah manusia itu masih hidup atau tidak.
Sebagai seorang fallen-angel, Geumjae pasti memiliki kekuatan dan daya tahan yang lebih besar dari Seokjin. Cekikan di leher seharusnya tidak akan membunuhnya, kecuali itu Namjoon dengan kekuatan iblisnya yang di luar kendali.
Geumjae tidak sempat bereaksi atau kabur ketika ia keluar dari rumah. Ia sudah mati-matian menyiapkan mental sebelum mendekati Seokjin yang tak lagi terdengar suaranya, tapi ia tidak menduga akan langsung disambut seperti ini. Bahkan ia tidak sempat merasa takut dengan aura mencekam Namjoon.
Tubuhnya terasa sakit luar biasa begitu tangan tak kasat mata Namjoon yang panas menyentuh lehernya. Geumjae tidak sempat memperkuat pertahanannya dari segala sisi, membuat kondisi tubuhnya saat ini hampir sama rapuhnya dengan manusia. Pandangannya gelap sejak tadi, ia fokus menyalurkan kekuatannya ke bagian leher agar tidak cepat terbakar.
Meskipun begitu, dibandingkan dengan kekuatan Namjoon yang saat ini tak terkendali, Geumjae hanya dapat melindungi sedikit bagian dari tubuhnya. Ia dapat merasakan beberapa bagian lehernya melepuh karena panas membara dari Namjoon.
Namjoon melangkah maju, mendekati Geumjae yang terkulai lemas dengan kulit leher yang mengelupas. Seiring kakinya menapak, hawa panas itu menguar dari tubuhnya. Saat ini, Namjoon total lupa akan dirinya. Terselimuti dendam yang begitu kuat mengakar dari lubuk hatinya, ia tidak lagi ingat akan Lucifer, Seokjin, maupun Ashley. Yang ada di kepalanya saat ini adalah gagasan untuk membunuh Geumjae, entah apa alasannya dan apa manfaatnya.
"Bunuh ... Geumjae ..." Namjoon meracau lirih sejak matanya menangkap kehadiran Geumjae dari pintu yang terbuka. Suara itu terus berulang seperti kaset rusak, dengan tatapan kosong segelap malam. "Bunuh ... Geumjae ..."
Geumjae mati rasa. Lehernya terlalu sakit, bahkan mulai tercium aroma gosong, terbakar. Membuka sayapnya memerlukan tenaga yang besar, mengingat saat ini ia sudah membuang banyak untuk melindungi area lehernya yang berakhir sia-sia. Terbang untuk kabur tidak pernah terdaftar dalam cara melarikan dirinya. Sekujur tubuhnya melemah, kesadarannya hampir hilang. Hawa panas dari Namjoon terasa mendekat, tapi ia sudah menyerah.
Mungkin memang inilah yang pantas didapatkannya selama ini. Memang beginilah seharusnya, ia mati di tangan sahabatnya sendiri.
Ah ... sahabatnya. Apakah yang di depannya itu masih sahabatnya?
Hati Geumjae seketika menghangat kala ingatannya tentang Namjoon dan Ashley melintas.
Tentu saja, Namjoon akan selalu jadi sahabatnya.
Bagaimanapun keadaannya saat ini, seperti apapun wujud Namjoon yang hendak membunuhnya saat ini, atau apapun pemikiran Namjoon tentangnya saat ini,
Namjoon, Pangeran Neraka, akan selalu menjadi sahabatnya. Akan selalu ia simpan dalam benaknya.
Hawa panas itu makin dekat. Geumjae membuka matanya untuk terakhir kali, mendapati mata hitam Namjoon yang kosong menatap lurus ke arahnya, dengan aura membunuh kuat yang tak pernah dilihatnya.
Anehnya, sebulir air mata turun membasahi pipinya.
Geumjae merasakan hatinya seperti dicubit. Ada rasa sakit yang menusuk kala menyadari bahwa Namjoon menangis.
Namjoon ...
Tangan kiri Namjoon terangkat, mengepal di udara. Api hitam merekah dari buku-buku jarinya, menguar membalut kepalan tangannya. Ia siap membunuh Geumjae. Air matanya turun makin deras meski ekspresinya masih datar dan tatapannya kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sinners [NamJin]
Fanfic[ S L O W U P D A T E ] Seokjin sudah terlalu lelah untuk terus bertahan hidup, ia hanya ingin semuanya berakhir dengan cepat. Satu langkah lagi, kehadirannya di dunia akan sempurna hilang. Namun, ketika dihadapkan dengan Malaikat Kematian, Seokjin...