"Dia bisa melakukan apapun, Michiko."
Setelah kekhawatiran yang mereda. Ankaa menatap Kiko yang membisu dengan sebuah bantalan penghangat perut yang dibelikan oleh Mbak Dida. Kiko terlihat menekan bantalan itu ke perutnya.
"Dan semua orang diam saja? Mas Ilman akan selalu ada dalam bahaya kalau informasi itu benar. Itu bukan lagi sebuah tanda Mas. Tapi bukti."
Ankaa menghela napas pelan. "Tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Kalau kamu berpikir dengan Mas Ilman meninggalkan Mbak Kinanti perlahan-lahan adalah solusi, maka itu bukan sebuah solusi. Kamu pasti bisa membayangkan apa yang akan dilakukan oleh wanita itu."
"Serius? Tidak ada satu pun keluarga mantan suaminya yang mau maju menguak semua?"
"Mereka bahkan memilih menjadi orang-orang yang tidak terlihat lagi di mata dunia. Sangat sulit mendapatkan informasi itu karena semua seperti menolak membukanya."
"Mereka masih sangat muda ketika itu terjadi. Kegilaan itu. Dan kita melihatnya sekarang."
"Itu akan seperti gunung es, Dek. Terlihat sedikit di permukaan tapi sesungguhnya, masalah yang lebih besar tak terlihat di bawah air laut."
Kiko mendongak ke arah Mbak Dida dan mengangguk. Bahunya luruh dan dia menghembuskan napas sangat perlahan.
"Kenapa ini harus terjadi? Mengapa mereka harus bertemu? Why us? Ini lebih terlihat seperti sebuah hukuman. Belum lagi keberadaan wanita itu dan keyakinan ku bahwa wanita itu ada hubungannya dengan keluarga Danurwendo." Kiko menyugar rambutnya dan menatap Ankaa yang membantunya menekan bantalan hangat ke perutnya.
"Yang terpenting adalah jangan melakukan apapun."
Kiko menoleh pada Ankaa dan menatapnya lekat. Ankaa yang terlihat serius dan tatapannya seakan menembus manik mata Kiko mencari kesanggupan Kiko untuk diam saja.
"Apa Mas sudah bicara dengan Bapak?"
"Kami sudah bicara."
"Kami?! Dan kalian tidak melibatkan aku? Apa...kalau aku tidak mengetahui ini secara tidak sengaja...berarti kalian akan diam saja? Bagaimana mungkin?"
"Karena kalau kamu tahu, kami yakin dengan reaksimu."
"Reaksi seperti apa? Panik? Tentu saja. Bagaimana tidak? Pembunuh. Kita tahu dia seorang pembunuh Mas. Situasinya akan lain kalau bayi itu di masa lalu itu mati wajar." Kiko merunduk dan bahkan meraih tangan Ankaa dan meremasnya kuat. "Dan kalian diam saja?"
"Yang seperti ini. Reaksi yang seperti ini yang kami tidak mau, Dek. Kamu yang terus penasaran." Ankaa balik meremas tangan Kiko. Kiko yang menegakkan tubuhnya dan menarik napas namun tidak buru-buru membuangnya.
"Huuuh..." Kiko melepaskan udara sebanyak mungkin dari hidungnya. "Aku tidak bisa berjanji apapun. Seperti yang kamu bilang, Mas...mau tidak mau Mas Ilman akan terus berinteraksi dengan Mbak Kinan. Tidak mungkin tiba-tiba meninggalkannya karena reaksi yang akan diberikan wanita itu. Lalu aku? Aku keluarganya Mas Ilman, dia bahkan...sering ke situ..." Kiko kembali merunduk dan menunjuk ke arah toko kue Budenya. "...dan ke sini tanpa alasan. Bagaimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK IN MY BLUE
Romance"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."