Soon!*
"Tidak usah bilang bapak dan ibu lah Mas..."
"Istirahat yang banyak."
Kiko menatap Mas nya yang lagi-lagi, memasang infus padanya. Pria itu memeriksa laju infus dan menatapnya tanpa reaksi apapun.
"Ada apa, huum? Jangan terlalu sering nggeblag."
Kiko menatap Mas nya yang duduk di dekatnya. Dia menggeleng dan tersenyum. "Biasa lah Mas, kopi..."
Ilman menghela napas panjang dan menggeleng. "Ini lebih dari sekedar karena kopi, Dek."
"Mungkin karena stres yang tidak terdeteksi Mas. Pekerjaanku cukup rumit belakangan ini."
"Dan makan tidak teratur. Kalau dibiarkan seperti itu terus tidak baik, Dek."
"Iya, Mas."
Mereka menoleh ketika pintu kamar terbuka dan Ankaa masuk dengan selembar kertas yang sepertinya baru dia baca. Pemuda itu menyerahkan kertas itu pada Ilman dan pria itu segera memeriksanya. Hening menyergap sesaat kemudian. Kiko menatap Ankaa yang membetulkan selimut di badannya. Pemuda itu balik menatapnya dan tersenyum kecil.
"Bisa benget begini? Padahal makan nya doyan pakai banget. Seperti tidak sakit." Ilman yang membaca hasil laboratorium Kiko menggeleng kesal.
"Aku kenapa, Mas?"
"Memangnya kamu tidak ada keluhan apa-apa di perut kamu?"
"Oh...aku pikir itu biasa saja. Seperti mulas karena ingin buang air besar."
"Biasa saja bagaimana? Rasanya pasti beda. Ini kalau dibiarkan bisa jadi penyakit seumur hidup."
"Kamu memiliki symptoms maag, Dek. Jangan dianggap sepele."
Kiko menoleh ke arah Ankaa yang menimpali perkataan Mas nya.
"Ini diperlukan pemeriksaan dengan endoskopi biar dia yakin."
Kiko menoleh lagi ke arah Mas nya dan menggeleng cepat. "Tidak mau." Kiko menjawab sangat cepat dan mencebik pelan. Dia sangat tahu prosedur pemeriksaan endoskopi itu seperti apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK IN MY BLUE
Romance"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."