"Sri Roso Danurwendo telah mendapatkan hukuman mati, sedang keluarga besar Danurwendo sudah mendapatkan hukuman seumur hidup karena sebuah aib."
Ilman menautkan tangannya dan menunduk. Itu yang selalu dia lakukan ketika bapaknya berbicara serius.
"Bapak dan bulik kamu menjalani hidup dengan perjuangan tanpa henti. Perjuangan apa? Perjuangan agar kami tidak membuat skandal apapun yang bisa membuat kalian tumbuh dalam kekisruhan. Agar kamu dan saudara-saudara kamu tumbuh di lingkungan yang baik. Dan kalau kamu berpikir bahwa itu mudah, kamu salah Ilman."
Ilman semakin menunduk.
"Dan tidak seharusnya perjuangan puluhan tahun hingga kalian bisa ada di titik ini, terusik oleh masalah yang seharusnya tidak terjadi. Wanita yang hanya punya cara berpikir sejengkal tangan, tidak seharusnya ada di antara kita karena menjadi Danurwendo itu sama sekali tidak mudah."
Ilman tetap membisu. Wajah tampannya nyaris tidak menunjukkan ekspresi apapun. Keheningan terasa begitu mencekam saat hawa dingin di lorong rumah sakit itu menembus pori-pori.
"Bapak minta maaf, Le."
Ilman mendongak dan menggeleng. Dia tahu apa makna di balik kata-kata bapaknya itu, karena bukan kali ini saja bapaknya mengatakan hal seperti itu. Bapaknya yang selalu meminta maaf padanya di sepanjang hidup pria tua itu. Tentang sesuatu yang bisa diibaratkan sebagai hukuman seumur hidup untuknya karena skandal yang sudah bapaknya lakukan di masa lalu. Skandal keluarga Danurwendo yang melekat sebagai aib dan membuat anak keturunannya susah.
"Bapak tahu itu bukan masalah buat Ilman, Pak. Jangan meminta maaf."
"Tapi ini jadi masalah untuk calon mertuamu. Kinan mungkin belum tahu, tapi bapak sambungnya tahu. Dan kamu juga sudah bertemu dengan ibunya. Ini akan menjadi kesulitan di masa depan, Le."
"Sebenarnya...ibunya Kinan juga belum mengetahui status Ilman sebenarnya, Pak. Beliau datang ke rumah sakit waktu itu karena beliau berpikir bahwa Ilman tidak cukup bisa membuat Kinan bahagia."
"Dan itu akan menjadi masalah di masa depan."
"Hidup akan selalu ada masalah kan Pak?"
"Tapi bapak memiliki penilaian sendiri terhadap Kinan dan sudah seharusnya kamu menghargai penilaian bapak."
"Dalem, Pak."
"Cinta kamu sama Michiko mungkin selamanya tidak akan bisa mendapatkan balasan. Tapi bapak tidak bisa memberi restu untuk seorang Ndaru Kinanti. Maafkan bapak, Le."
Ilman menghela napas. Dia beranjak ketika bapaknya beranjak dan berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Pria itu berjalan menuju lobi dan seorang pria mengikutinya menuju mobil. Langkah Ilman terhenti di depan pintu lobi dan menatap bapaknya yang melambai ke arahnya. Mobil bapaknya segera melaju keluar dari rumah sakit.
Ilman berbalik namun urung melangkah ketika seseorang meraih lengannya.
"Mas."
"Eh?" Pandangan Ilman tertuju pada Kiko yang sudah berdiri di sampingnya. Seseorang yang tidak seharusnya berada di rumah sakit sekarang ini, atau situasi akan menjadi ruwet sebentar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK IN MY BLUE
Romance"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."