Bab 45. Wanita-wanita Yang Berteman Dengan Rasa Cemburu

2K 590 97
                                    

Naik turun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Naik turun. Atmosfer yang tercipta begitu saja dan Kiko merasa hubungannya yang seumur jagung dengan Ankaa begitu cepat terusik oleh kehadiran Ajeng. Wanita itu bersikap seperti dia yang paling mengenal Ankaa dibanding siapapun. Dia mengesampingkan kenyataan bahwa Kiko bahkan mengenal pemuda itu sejak mereka masih dalam kandungan.

Kiko menghela napas dan menyipit menatap gadis itu yang berada di sebuah kursi roda dan bertemu dengannya dan Mbak Dida di lorong rumah sakit. Kiko menepi dan menyaksikan bahkan Ajeng mencoba begitu keras untuk mengakrabkan diri dengan Mbak Dida. Sok kenal sok dekat.

Kiko menarik napas dalam-dalam ketika Ajeng terlihat seperti memanfaatkan sakitnya untuk mencari simpati Mbak Dida. Dia terlihat jelas mencoba mengikat semua orang dengan sakitnya itu. Mencari simpati dan mendapatkan belas kasihan. Kiko merasa dirinya wajar merasa kesal tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Bagaimanapun, orang tetap akan menilai dia kejam seandainya dia bersikap keras pada Ajeng yang mengusiknya. Dia tetap akan menjadi pihak yang salah. Seperti ketika sebuah mobil menabrak motor, maka tetaplah mobil yang salah walaupun yang terjadi sesungguhnya adalah kesalahan ada di pihak motor.

"Mbak Ajeng, waktunya istirahat."

Ajeng seperti akan memprotes ketika perawat yang membantunya mengingatkan jam istirahatnya. Namun lagi-lagi Ajeng segera membuat dirinya nampak lemah dan penurut di depan Mbak Dida.

"Baik. Mbak Dida, Ajeng ke kamar dulu ya."

"Iya. Selamat istirahat."

Perawat memutar kursi roda dan mendorongnya meninggalkan koridor itu. Jauh-jauh sekali wanita itu mencari udara segar hingga melintasi halaman dan taman rumah sakit untuk sampai ke IGD.

"Kita duduk?"

Kiko mengangguk. Mereka duduk menunggu di depan IGD dan menatap pintu yang berkali-kali terbuka dan tertutup secara otomatis ketika seorang dokter atau perawat keluar. Kiko menoleh ketika Mbak Dida menepuk punggung tangannya.

"Ankaa sudah bicara?"

Kiko mengangguk karena dia tahu arah pembicaraan mereka.

"Profesinya membuat dia serba salah. Jangan terlalu keras padanya ya. Percaya saja."

"Percaya?"

"Karena dia adiknya Mbak Dida." Mbak Dida tersenyum. "Mbak akan memarahinya kalau dia sampai salah langkah."

Kiko menunduk dan menautkan jari di pangkuannya. Perkataan Mbak Dida yang memintanya untuk tidak terlalu keras pada Ankaa? Dia bahkan sudah bersikap keras pada pemuda itu. Dia tidak memberi Ankaa pilihan tapi dengan jelas mengatakan bahwa dia ingin Ankaa menolak apapun permintaan Ajeng Maharani.

"Wajar kalau kamu cemburu. Dan itu harus dilakukan. Tapi, karena yang kamu cemburui itu adiknya Mbak Dida, kamu harus yakin bahwa Ankaa akan memikirkan setiap langkahnya. Dia, adik satu-satunya dan entah mengapa, dalam banyak hal, dia adalah mini me."

PINK IN MY BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang