"Kita mengikuti permainan manusia yang super telaten. Mungkin kalau kita tidak secara tidak sengaja tahu adanya Lanjar Nastiti, Sanusi Baco akan tenang-tenang saja."
"Puluhan tahun memendam hal mengerikan seperti itu, apa mungkin dia menderita semacam gangguan mental tertentu? Dan mendapatkan kepuasan dari apa yang dia lakukan selama puluhan tahun itu?"
"Mungkin saja Mas. Dan kita mengusiknya." Ankaa menghela napas panjang.
"Kesimpulan yang bisa kita ambil adalah dia pria yang sangat manipulatif. Dan kita tidak bisa mempercayai siapapun yang berada di dekatnya. Termasuk Mbak Jumiati itu." Ankaa menatap supir taksi online yang nyatanya tertahan di gerbang rumah dan berbicara dengan Pak Kelik. Sebuah sesi curhat para pejuang nafkah. Terlihat seperti itu.
"Lalu apa tujuannya kalau dengan menahan beberapa orang yang sebenarnya anggota keluarga Danurwendo sudah membuatnya puas?" Ilman duduk kembali di kursi teras.
"Pernikahan itu, apa tujuan Sanusi Baco ke sana, Mas? Harta Danurwendo? Karena setelah aku pikir-pikir dengan baik, rasanya tidak mungkin dia menyerahkan anak perempuannya untuk menikahi Danurwendo semangat dendamnya sangat besar."
"Dia sudah sangat kaya."
"Manusia dan sifat dasarnya. Beberapa manusia maksudku, tidak pernah merasa cukup. Bagaimana pendapat Mas?"
"Kita belum tahu apa yang mendasari semua ini. Mengapa Sanusi Baco begitu dendam pada keluargaku."
"Bagaimana dengan teman-teman almamaternya? Kita perlu menemukan beberapa. Siapa tahu kita mendapatkan informasi penting."
"Huuuh..." Ilman meregangkan tubuhnya. "...aku perlu mengambil cuti periodik untuk menyelidiki itu lebih dalam. Ritme di cabang benar-benar sedang tinggi dan sangat cepat. Kami kekurangan tenaga medis hampir di semua lini."
"Kita petakan saja Mas. Singkirkan kemungkinan kemungkinan lain."
"Maksudnya?"
"Kita fokus saja bahwa semua ini hanya berhubungan dengan satu orang. Raden Mas Sri Roso Danurwendo."
"Kamu benar. Sejauh ini kita kacau karena masalah ini melebar kemana-mana dengan adanya wanita lain yang menjadi istri sah Eyang Buyut. Kita memang tidak bisa mengesampingkan itu, tapi sebaiknya mulai sekarang kita fokus pada Eyang Kakung. Almarhum..." Ilman menyugar rambutnya dan menghela napas keras.
"Kapan libur, Mas? Kalau ada hari yang sama kita bisa mulai ke bagian administrasi dan kemahasiswaan. Itu bukan masalah sepele, Mas. Berkasnya pasti banyak dan rumit."
"Besok?"
"Huum. Kebetulan. Oke. Pagi kita ke Bulak Sumur."
"Oke. Aku permisi balik dulu."
Ilman beranjak. Ankaa melakukan hal yang sama dan mengantarkan Ilman hingga menuju mobilnya. Suasana lengang kediaman Pananggalih segera terasa setelah mobil Ilman meninggalkan rumah itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK IN MY BLUE
Roman d'amour"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."