"Mbak Jum! Kembalikan ponselku!"Kinanti mendelik lemah kepada Jumiati yang menyingkir dari dekatnya dan berdiri di dekat pintu kamar sambil mendekap ponselnya erat. Wanita itu menggeleng. Kinanti beringsut lemah.
"Berikan padaku..."
"Maaf Mbak. Ini perintah Pak Mono. Maaf."
"Sialan kamu Jum. Apa yang kamu takutkan heh?"
Hilang sudah sopan santun itu. Seharusnya Kinanti tidak perlu bertanya. Banyak alasan mengapa Jumiati menjadi begitu loyal. Salah satunya adalah nyawa keluarganya yang terancam. Mereka pasti diintimidasi oleh Darmono Jati.
Kinanti menatap Jumiati yang beringsut keluar dan menutup pintu. Dia memanggil wanita itu lemah dan akhirnya menyerah begitu saja. Dia sudah kehilangan tenaganya. Napas Kinanti tersengal. Tentu saja dia bukan lemah karena dia lelah bekerja. Tapi karena Bapaknya selalu memiliki cara khusus membuatnya tidak berdaya. Dengan kata-kata dan tindakannya yang seakan menjadi pengaruh magis untuknya.
Hujan masih terus mengguyur deras. Posisi Kinanti yang menempelkan kepala ke lantai memperjelas apa yang dia dengar. Apapun yang terjadi di kamar utama yang ada tepat di bawah kamarnya, nyatanya belum akan berakhir.
Kinanti mengerang lirih dan seperti ular melata dia bergerak ke arah ranjang. Dengan sudah payah dia bertumpu pada kaki ranjang untuk berdiri. Erangan nya kembali terdengar ketika dengan sisa tenaganya dia melemparkan tubuhnya ke ranjang dan menarik selimut. Kinanti memejamkan mata dan menyesali bahwa di saat seperti itulah sebenarnya, dia begitu membutuhkan Ilman.
Dalam pejaman matanya, pikiran Kinanti berkelana. Dia anak Bapaknya. Dia sedikit banyak sudah mempelajari bagaimana Bapaknya itu. Bahwa yang dilakukan oleh Bapaknya sejauh ini adalah membuat keluarga Ilman menjadi pusing. Bapaknya dengan sengaja membangun kisi-kisi yang akhirnya dipelajari oleh Ilman dan keluarganya sebagai sebuah petunjuk. Mereka menjadi begitu sibuk ke sana kemari, mempertegas apa yang mereka dengar. Pontang panting kesana kemari mencari para wanita itu seusai dengan petunjuk yang mereka dapat. Sementara itu, Bapaknya bahkan tidak pernah benar-benar melepaskan para wanita itu. Mereka digotong kesana kemari dengan telaten oleh Bapaknya namun sesungguhnya, mereka seakan tidak pernah pergi dari sisi seorang Sanusi Baco. Ditemukannya anak nomor empat yaitu Riris Wahyuni, Bapaknya menganggap itu sebagai kemurahan hatinya.
Terlelap kelelahan setelah lelah berpikir. Entah berapa jam Kinanti akhirnya tertidur. Dan dia terbangun dengan tiba-tiba. Beranjak duduk dan berakhir memegangi kepalanya yang pusing. Kinanti menoleh ke arah pintu yang masih tertutup dan perlahan terhuyung ke arahnya. Dia keluar sambil merayap merayap berpegangan pada tembok. Bertelanjang kaki, tujuannya adalah ruang tamu yang benderang.
"Entah darimana anak itu tapi dia terlihat sangat kelelahan."
Kinanti berhenti melangkah sesaat setelah mendengar suara Bapaknya. Dari balik pintu penghubung yang sedikit terbuka, dia mengintip ke arah ruang tamu dan langsung bisa melihat sosok Ilman duduk di sofa. Kinanti menutup mulutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK IN MY BLUE
Romance"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."