Masalah, cukup dijalani saja. Satu persatu sesuai hakikatnya : masalah ada untuk diselesaikan.
"Maaf ya Mas kita terhubung dalam silaturahmi yang seperti ini. Aku juga benar-benar tidak tahu sebelumnya kalau bapaknya Mas Arlo adalah salah satu pemegang saham utama."
"Tidak apa-apa, Dek. Semua sudah digariskan. Klise ya? Tapi Mas memang harus memberikan warning dari sekarang kalau bapak itu gampang-gampang susah orangnya. Beliau cukup kaku bahkan kepada kami anak-anaknya."
Kiko mengangguk dan tersenyum. Setahunya, Mas Arlo adalah tiga bersaudara dan dia adalah anak kedua setelah kakak perempuannya dan dia memiliki adik laki-lakinya seumuran Gempar.
"Terima kasih, Mas. Mungkin tidak banyak yang bisa aku lakukan juga terkait ini. Terus terang aku juga masih bingung harus memulai dari mana?"
"Akan sangat sulit menemui bapak di rumah atau di perusahaan keluarga. Tapi ada satu kebiasaan bapak yang bisa kamu pelajari. Beliau suka sekali bermain golf di Merapi Golf."
"Huum..." Kiko mengangguk dan menumpukan kedua tangan di lututnya. Dia mulai memikirkan beberapa kemungkinan. Tapi menuju ke Abimanyu Dharmendra tidak bisa dilakukan dengan tiba-tiba atau pria itu akan menolak dengan cepat. "Baik, Mas. Semoga aku menemukan cara."
"Mas akan mengabari begitu Mas menemukan celah agar kamu bisa bicara. Sekarang, Mas pulang dulu."
Kiko mengangguk dan ikut beranjak. "Sekali lagi, terima kasih ya Mas. Hati-hati di jalan."
Pria itu mengangguk dan Kiko mengikutinya hingga ke mobil. Kiko melambai setelah saling berbalas salam. Dia terpaku di halaman pendopo, menggaruk kulit kepalanya setelah memastikan mobil Arlo keluar dari Griya Bausasran dan pintu gerbang kembali ditutup. Sore sudah sangat condong ke barat dan waktu sudah menjelang Maghrib. Dia menoleh ke arah kesibukan di mushola Griya itu dan memilih ikut sibuk di sana.
Dan terpaku di pendopo tanpa melepas mukenanya. Kiko baru saja memeriksa Eyangnya dan memilih menekuni televisi. Matanya menatap lekat ke arah layar televisi yang sering dinyalakan oleh siapapun di rumah itu dibandingkan televisi di rumah induk. Namun sejatinya, Kiko tengah melamun dengan tangan yang konstan menekan tombol remote control. Mengganti channel tanpa tahu apa yang akan dia tonton sebenarnya. Kakinya yang dia luruskan bergerak-gerak ritmis.
Ibu kandung dan Ibu angkat dokter Mia tidak melakukan perjalanan apapun ke Jerman, itu pesan yang dituliskan oleh Karl Lagerfeld dengan sangat hati-hati.
"Kalau mereka saling cinta, mengapa tidak kuat untuk berjuang?"
Pertanyaan itu nyatanya membuat Kiko tertegun karena dia berpikir pertanyaan itu justru sangat cocok dilontarkan padanya dan Ankaa. Kiko menggeleng dan mulai memikirkan kemungkinan tentang dokter Mia yang memilih menyerah dan mengikuti kehendak orang tua angkatnya.
"Atau berubah haluan setelah bertemu dan mengenal Mas Ankaa?"
Kiko mencoba membawa ingatannya menjelajah waktu di masa lalu. Dia berpikir seharusnya dia belum melupakan setiap momen karena situasi setelah Ajeng Maharani belumlah lama terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK IN MY BLUE
Storie d'amore"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."