Bab 38. Yang Datang Bersama Hujan

2.2K 563 109
                                    

Berhari-hari setelah itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berhari-hari setelah itu.

Menyambangi rumah pertanian walau tidak sepenuhnya berkunjung adalah yang dilakukan oleh Kiko. Dia sudah memikirkan banyak cara dan tidak menemukan satu pun yang pas kecuali menyelidikinya langsung ke rumah itu. Percuma mengandalkan Kinanti yang nyaris setiap hari seperti nge blank hidupnya. Tujuan Kiko adalah Mbak Jumiati, asisten rumah tangga keluarga Baco. Wanita itu adalah yang paling punya perasaan di rumah pertanian yang dipenuhi oleh orang-orang dingin. Setidaknya, itu menurut penilaian Kiko yang sudah dia pikirkan berhari-hari.

Hari ke empat. Kiko memiliki minat yang sangat besar mencatat kegiatannya itu pada salah satu lembar jurnalnya. Menyelipkannya di antara lembaran-lembaran yang penuh berisi informasi penting pekerjaannya.

Kiko menyandarkan tubuhnya ke jok mobil dan menggigit pulpen di tangannya. Dia memandang kejauhan seakan dia berharap bisa menembus isi dalam rumah pertanian itu dan mengetahui setiap pergerakan orang-orang di dalamnya.

"Huuuh..." Kiko melenguh panjang. Dia memegang kemudi dan merasa bahwa hatinya tengah berjuang sangat kuat. Ikatan itu belum ada. Ikatan alami dengan wanita itu sebagai sesama Danurwendo. Kiko merasa dia belum bisa merasakannya karena yang menggunung di hatinya sekarang adalah rasa prihatin yang sangat besar. Mungkin karena sama sekali tidak saling mengenal dan rentang waktu yang sangat lama.

Hari ke empat Kiko mengamati rumah itu tanpa hasil apapun. Setidaknya belum karena Kiko masih bertahan di tempat itu. Si Mbak yang bernama Jumiati itu tidak keluar sama sekali dari rumah pertanian. Kemungkinan paling mudah adalah semua suplai sayuran sudah tersedia di tempat itu jadi kemungkinan berbelanja di luar sangat kecil.

"Tidak mungkin juga dia keluar tanpa orang mengikutinya..." Suara Kiko menggantung dan dia merunduk ketika dari arah rumah pertanian keluar sebuah motor yang berbelok ke arah utara.

"Wah...tanggal berapa ini? Dan, ternyata boleh Mbak Jumiati itu mengendarai motor sendiri?" Kiko menyalakan mobil dan dari jarak aman mengikuti laju motor yang tidak seberapa kencang sambil berkali-kali menatap ke arah spion dalam untuk memastikan bahwa Mbak Jum tidak diikuti oleh siapapun.

Lima belas menit berlalu, Kiko menggeleng ketika Mbak Jum dan motornya berbelok ke sebuah pasar. Kiko celingukan karena dia sulit menemukan tempat parkir. Bahu jalan di depan pasar sangat penuh. Kiko menepi cukup jauh dari pintu utama pasar dan memarkir mobilnya di bahu jalan yang sedikit lega.

"Ya Allah..." Kiko menyambar tasnya dan keluar dari mobil. Dia merasa dia pasti sudah kehilangan jejak Mbak Jum di keramaian seperti itu. Dengan langkah panjang, Kiko memasuki pasar dan mengedarkan pandangan ke sekelilingnya sambil mengingat-ingat apakah Mbak Jum membawa tas belanja khusus?

"Tidak." Kiko bergumam menegaskan ingatannya. Dia terus masuk ke kedalaman pasar dengan beberapa kali menepi saat berpapasan dengan seseorang yang membawa banyak barang. Kiko berdeham ketika dia menangkap sosok Mbak Jumiati sedang duduk di samping seorang wanita tua di lorong penjual kembang setaman. Kiko beringsut mundur dan menghela napas lega. Dia menarik napas panjang dan berjalan mendekati wanita itu.

PINK IN MY BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang