Berapa kali mereka melaksanakan sebuah upacara pemakaman? Mereka bahkan tidak ingin menghitungnya.
Pemakaman eyang Lanjar dilaksanakan hari itu juga setelah hujan reda. Semua berjalan dengan lancar dan baik dengan kaidah-kaidah Islam dan beberapa pakem adat istiadat Jawa yang tetep dilaksanakan.
Hujan menyisakan gerimis dan Kiko belum ingin meninggalkan pemakaman itu. Dia berdiri di depan sebuah nisan. Mengabaikan terusan hitamnya yang kotor oleh tanah hitam, gadis itu menunduk dan menatap nisan sederhana di depannya. Wajahnya terlihat datar namun serius seakan di kepalanya sedang berputar roll film kejadian-kejadian di masa lalu sejauh kekuatan ingatannya.
Raden Mas Sri Roso Danurwendo
Begitu nama yang tertera di batu nisan itu. Tulisan dengan warna gold dengan font sederhana. Batu nisan itu basah oleh air yang bergulir dan jatuh di rerumputan subur penutup kubur.
"Ibu bahkan merawat penandamu dengan baik, Yang Kung." Kiko berbisik lirih dan menajamkan pandangannya ke nisan eyangnya itu. Penanda yang selalu dicat ulang setiap 3 bulan sekali dan rumput yang selalu dalam keadaan subur dan terpotong rapi dan selalu ada bunga segar yang diganti setiap 3 hari sekali. Di era milenial yang serba duit seperti sekarang, hal seperti itu tentu dilakukan dengan banyak biaya. Kiko tahu ibunya membayar pajak pemakaman sekaligus menyewa beberapa pengurus makam untuk merawat makam eyangnya itu secara khusus. Bakti kepada orang tua memang tidak akan cukup hanya dengan mengeluarkan puluhan juta uang, namun ibunya melajukan itu sebagai salah satu tanda baktinya.
Kiko meremas jarinya sendiri. Tidak banyak ingatan yang terpatri di kepalanya tentang eyangnya itu, tapi tentu saja dia mendengar banyak sekali berita dan cerita tentang almarhum pria itu. Baik dan buruk. Nyaman atau tidak nyaman untuk didengarkan, kisah tentang eyangnya nyatanya tidak berakhir pada Dian Agni Pangestika dan Farel Muhammad sebagai anak-anaknya. Tapi dia, Michiko Pramoedya juga menjadi bagian dari kisah pria itu bahkan ketika pria itu sudah menyatu dengan tanah.
"Sampai bertemu lagi, Yang."
Kiko mengucapkan salam perpisahan dan berbalik setelah beberapa detik menatap nisan itu lekat. Dia berjalan menyusuri jalanan setapak dan menghampiri Ankaa yang menunggunya di bawah pohon kamboja.
"Sudah?"
Kiko mengangguk dan menerima uluran tangan Ankaa. Mereka berjalan menuju gerbang pemakaman dan Ankaa berbincang sebentar dengan beberapa orang penggali kubur yang sedang membersihkan cangkul mereka. Dia memberikan beberapa lembar seratus ribuan yang diterima dengan suka cita oleh mereka.
Menapak trotoar menuju Griya Bausasran dan menjadi tergesa setelah menyadari bahwa sore sudah mendekati menjelang Magrib an. Mereka mempercepat langkah mereka dan memasuki gerbang Griya Bausasran bersama dengan 4 orang abdi dalem yang baru saja selesai memulangkan keranda.
"Acaranya akan di gelar di dua tempat, Dek. Jadi Mas akan kembali ke Ndalem Kusumanegara setelah Maghrib an."
"Loh..."
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK IN MY BLUE
Romansa"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."