Efek domino karena permasalahan Kiko dan Ankaa nyatanya tidak terjadi pada Kiko dan Dida yang sudah aktif kembali di kantor. Dua gadis itu bahkan sedang tertawa hingga meringkuk di sofa. Mereka sedang membicarakan kesalahan editing dalam film Game of Thrones dimana cup kopi Starbucks salah satu pemain lupa diangkat dari setting hingga ikut terambil gambarnya. Kiko yang awalnya tidak mempercayai apa yang dikatakan oleh Dida, bahkan sampai mencari berita itu di mesin pencarian.
"Iya loh Mbak...wah...epic banget...hahahaha..." Kiko memegangi perutnya. "...padahal adegannya sedang serius ya?"
"Ho...oh."
Dida menyesap kopinya pelan. "Dan tidak ada yang mengakui cup itu hingga beberapa waktu."
"Wah...iya sih Mbak. Film nya kelas dunia. Jutaan orang tahu. Mengaku sama saja...malu sampai ke ubun-ubun."
Mereka menoleh ketika pintu kantor terbuka memperlihatkan sosok Ankaa yang datang hanya dengan memakai celana pendek. Hari bahkan masih sangat pagi. Kiko membetulkan mukena yang belum dia lepas setelah sholat dhuha.
"Assalamualaikum. Mbak, pesenan nya."
"Waalaikumsalam. Terima kasih, Dek." Dida menempuh pundak Ankaa dan mengusap punggung pemuda itu.
Kiko beringsut dan menjawab salam pelan. Dan mereka menoleh lagi ketika pintu kembali terbuka. Sosok Ilman masuk dan menghampiri mereka yang menjawab salam pria itu serempak.
Suasana pagi itu, rasanya nyaris seperti sebuah awalan yang baru. Sangat segar dengan udara pagi yang dingin.
"Titipan dari Ibu." Ilman meletakkan dua buah paper bag ke meja. Kiko melongok isi paper bag dan mendongak ke arah Mas nya.
"Satunya buat siapa, Mas?"
"Mbak Dida."
"Oh..." Kiko menggeser salah satu paper bag ke arah Dida dan tersenyum.
"Terima kasih, Mas. Salam buat Bude ya. Ini, buat Mas Ilmuan saja biar aku bisa makan masakan Bude." Dida beranjak dan memberikan satu paper makanan yang dibawa Ankaa pada Ilman.
"Terima kasih."
"Huum." Dida mengangguk dan sesaat kemudian mengikuti arah tatapan Ilman. Mereka berdua akhirnya menatap obyek yang sama. Kiko dan Ankaa yang saling memberikan tatapan. Tatapan yang akhirnya memiliki makna yang berbeda. Satu kesal dan satu pasrah.
"Kita sarapan di samping? Belum ke rumah sakit kan?" Ilman memecah kesunyian dan memberi kode pada Ankaa untuk mengikutinya. Pemuda itu akhirnya mengangguk dan beranjak mengekornya. Mereka keluar dari kantor menyisakan Kiko dan Dida yang segera mengeluarkan sarapan mereka.
"Mbak..."
"Huum?"
Kiko menatap Dida yang mendongak dan tersenyum ke arahnya.
"Skorsing itu...serius?"
"Ho...oh. Tidak apa-apa. Biar istirahat."
"Huum." Kiko melayangkan pandangan ke arah pintu yang tertutup sambil menelan ludah kelu. Dia mulai menyuapkan sarapannya dengan enggan. Rasa tidak enak menyergapnya. Rasa tidak enak karena semua menjadi kacau karena kejadian kemarin.
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK IN MY BLUE
Romance"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."