Bab 59. Mencari Stempel Keramat

1.9K 560 84
                                    

"Bawa masuk cepat!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bawa masuk cepat!"

Kebisuan di tengah hujan deras itu terpecah oleh suara teriakan Sanusi Baco yang membuat Darmono Jati tersentak dan kembali menarik Lanjar Nastiti menuju teras rumah. Mereka kembali terseok menyusuri tanah lapang dan menjangkau teras.

"Mas." Ankaa menoleh ke arah Ilman dan menatap Bu Siti Juariah. Ilman yang tanggap dengan apa yang diminta oleh Ankaa, beringsut dan meraih wanita sepuh yang basah kuyup itu. Payung yang dipakai oleh Dida nyatanya tidak mampu memayungi mereka. Hujan semakin deras dengan angin yang kencang.

"Sebaiknya kalian semua cepat pergi dari sini."

Mereka menoleh dan seorang anak buah Sanusi Baco menghalau mereka sambil mengibaskan sebuah tongkat bambu. Beberapa pria di pos jaga gerbang kedua menatap mereka bagaikan tontonan menarik.

"Ke Bausasran, Mas." Ankaa mengabaikan anak buah Sri Roso. Ilman mengangguk dan membimbing Bu Siti Juariah menuju mobilnya. Suasana mencekam masih terasa. Kiko masih mematung menatap ke arah teras rumah. Sanusi Baco nyatanya sudah tidak ada di tempat itu dan wanita itu juga sudah menghilang. Di teras hanya tersisa Darmono Jati dan Jumiati yang berdiri mematung.

"Dek. Kita pulang sekarang." Ankaa menarik Kiko yang lalu mengikutinya dengan enggan. Mereka menuju mobil dan terhenti di depan pintu mobil.yamh sudah mereka buka. Ankaa menatap Kiko yang nyatanya bukan ke teras fokus penglihatannya akan tetapi ke lantai atas rumah pertanian itu. Di sebuah kamar dengan jendela terbuka. Angin kencang menerpa tirai jendela dan sosok Kinanti timbul tenggelam di baliknya.

"Tidak ada alasan buat Mas Ilman untuk bertahan pada situasi ini. Apapun yang terjadi dengan Mbak Kinanti, sebanyak apapun penderitaan yang dia peroleh dari Bapaknya, dan biarpun statusnya adalah juga korban dari kekacauan yang dibuat oleh pria itu, Mbak Kinanti tetap menjadi salah satu yang biadab."

Kiko memutus tatapannya dan masuk ke mobil. Dia menghela napas panjang dan menoleh ketika Ankaa mulai menyalakan mobilnya. Mereka akhirnya melaju keluar dari rumah pertanian itu menyusul Ilman yang sudah jauh di depan.

"Bu Siti tidak mau ke Bausasran, Mas."

"Huum?" Ankaa menoleh ke arah Kiko yang menekuni ponselnya dan menunjukkannya padanya. Sebuah pesan ditulis oleh Mbak Dida.

"Oke. Bilang Mbak Dida kita ketemu di pom bensin dekat UPN. Setidaknya kita harus mengganti baju dan mencari makan. Kita bicarakan nanti."

Kiko mengangguk dan melakukan panggilan telepon pada Mbak Dida selama beberapa saat. Lalu sunyi kembali menyergap sampai kemudian Ankaa mengusap kepala Kiko.

"Jangan memendam amarah."

"Bagaimana aku tidak marah, Mas. Bagian paling menjengkelkan adalah perlakuan mereka pada Bu Siti. Darmono Jati itu udah sok paling iya saja." Kiko mencebik jengkel.

"Dia hanya melaksanakan perintah."

"Tapi lagunya sama sengaknya dengan majikannya."

"Kamu kesal dengan Mbak Kinanti. Sudah ya. Jangan membuat diri kamu stres."

PINK IN MY BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang