Kiko mendongak ketika gagang pintu kamarnya bergerak.
"Belum tidur Nduk?"
Kiko membisu. Dan seketika dia merasa sangat berdosa karena memilih diam saja dan tidak menjawab pertanyaan Ibunya. Lalu terdengar langkah kaki menjauh dan Kiko menghela napas pelan. Dia kembali menekuni buku di pangkuannya dengan posisi yang aneh. Kiko duduk bersandar pada sandaran ranjang dan menyelimuti seluruh tubuhnya hingga rapat. Dia membaca bukunya dengan bantuan senter dari ponselnya.
"Petunjuknya adalah diam, mencari yang dekat, amankan ratu, bungkam sang raja."
Kiko melipat jarinya hingga empat ruas. Dan dia termenung setelahnya. Perlahan dia menutup buku itu. Om Garin juga menyertakan petunjuk bahwa dia harus membaca hingga halaman tiga puluh lima.
"Seharusnya aku tahu lebih awal kalau aku banyak waktu untuk membaca buku ini. Huum...oke...tempat yang dekat?" Kiko menurunkan selimutnya dan meraih ponselnya. Dia lalu sibuk menekuni peta daerah dimana rumah pertanian Sanusi Baco berada.
"Huum. Oke." Kiko mengangguk pada dirinya sendiri dan memberi pin pada tempat yang akan dia survey besok siang. Kiko melihat jam di ponselnya dan beringsut menuruni ranjang. Dia keluar dari kamar dan menyusuri koridor menuju tangga. Dengan langkah hati-hati Kiko menuruni tangga menuju aula rumah yang remang. Kiko berhenti di meja yang menjadi pusat aula dan mengamati vas bunga yang kosong. Dia lalu melayangkan pandangan sejauh matanya bisa menangkap ruangan dan mulai berjalan mengelilingi rumah induk. Masuk ke setiap ruangan tanpa melakukan apapun sampai dia benar-benar lelah.
Kiko berakhir di depan pintu kamar Eyangnya. Sunyi semakin menyergap saat Kiko melihat kaki perawat yang bertugas malam itu menjulur dari balik meja jaga. Perawat itu sepertinya sudah terlelap di ranjang yang ada di belakang meja jaga itu.
Kiko menelengkan kepala dan mendorong pelan pintu kamar Eyangnya. Cahaya remang memperlihatkan Eyangnya yang terlelap. Wanita itu nampak tenang dan Kiko kembali menutup pintu. Dia kembali meneruskan kegiatannya berkeliling. Setelah menaiki tangga rumah dengan cepat, Kiko berkeliling di luasnya lantai dua dan berdiri di balkon ruang bermain catur.
Dari balkon itu, pemandangan setiap sudut bangunan dan halaman rumah terlihat sangat jelas. Kiko bisa melihat bangunan kantor staf rumah tangga yang sunyi.
"Ooh...baru tengah malam dan sudah bermain-main rupanya..." Kiko memperhatikan gerbang rumah dan tertawa pelan. Sedikit lagi, ketika orang-orang di rumah itu mengetahui apa yang dia lakukan setiap malam selama beberapa bulan terakhir ini, maka mereka akan menganggapnya gila.
Bayangan-bayangan aneh itu. Bukankah seharusnya menghilang kalau mereka yang dikirim oleh Ajeng Maharani? Pengirimannya saja sudah meninggal. Namun Kiko masih sering melihat bayangan-bayangan itu di atas pagar rumah. Dia juga selalu merasakan rasa merinding ketika melewati gerbang rumah itu.
"Atau memang itu lain lagi? Mereka hanya bermain-main dan sudah lama menghuni tempat ini? Tapi, sebelumnya mereka tidak pernah terlihat." Kiko menggeleng dan mencebik lirih. Dia berbalik dan masuk ke rumah. Kiko menutup pintu menuju balkon dan kembali berjalan menyusuri koridor menuju kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK IN MY BLUE
Romantizm"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."