"Kita dihadapkan pada pilihan mau tidak mau. Bagaimanapun, bulik Kinanti itu adalah bagian dari keluarga ini."
"Tapi bapak...Mbak Kinanti itu aneh banget. Apa-apa maunya punya Mbak Dida. Mana bisa seperti itu?"
"Dan kita bukan jenis manusia yang mengambil keputusan tanpa dipikirkan matang-matang, Michiko. Tenang ya."
Kiko meniupkan rambut yang menutup wajahnya setelah kepalanya diusap oleh bapaknya dan menatap pria itu yang berjalan keluar dari kamar. Kiko menatap sekelilingnya. Kamar bapak dan ibunya terasa hangat karena sisa nyala api di perapian masih ada.
"Urusan sebesar saham Alamanda saja beres sama bapak Banyu Biru kan? Bapak memang tidak banyak bicara. Jadi, tidak ada alasan untuk khawatir dengan urusan satu ini. Bapak dan ibu diam bukan berarti tidak memikirkan situasi ini. Huuuh...tapi sebal sekali sama bulik Kinanti itu. Dia sepertinya ingin merecoki Mbak Dida kan?"
Kiko mengayunkan kakinya berkali-kali dan segera larut dalam lamunan. Dia jelas tidak bisa memahami mengapa Mbak Dida menolak untuk meninggalkan Griya Bausasran padahal suasana jelas tidak mengenakkan untuknya.
"Ini bisa tidak sih di cut sampai benar-benar selesai? Di mana anda Pak Baco?" Kiko rebah ke kasur dan menatap langit-langit kamar itu. Dia teringat pertemuan terakhirnya dengan Om Garin. Mereka jelas menemukan jalan buntu karena tidak bisa menemukan titik terakhir keberadaan Sanusi Baco selain pria itu yang masuk ke Galeria Mall dan lenyap begitu saja.
Kiko tidak menoleh ketika pintu kamar itu terbuka. Dia sudah bisa membaui aroma ibunya yang memakai parfum lembut milik bapaknya.
"Tidak keluar, Mbak?"
"Mas Ankaa standby di IGD. Mas Ilman juga begitu. Mbak Dida sedang menyelesaikan pesanan klien. Aaah..." Kiko berguling dan menatap ibunya yang sibuk membenahi baju ke lemari. "Bu..."
"Huum..."
"Kita tinggal saja bulik Kinanti ke rumah Kaliurang."
"Dan membiarkan dia mengacak-acak tatanan di Griya Bausasran? Itu lebih buruk, Mbak."
Kiko tertegun. Ibunya benar. Meninggalkan Kinanti di rumah utama Danurwendo? Bisa jadi itu yang diinginkan wanita itu. Dia akan mengacak-acak tatanan rumah tangga griya itu. Kiko menghela napas pelan.
"Dia tidak bilang maunya apa dan sampai kapan dia akan tinggal di sini." Kiko berbicara pelan nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Memang maunya seperti itu. Membuat kita semua jengkel. Ibu saja sampai sekarang masih berusaha bicara dengannya dan dia belum mau membuka hati."
"Karena dia tidak punya hati."
Kiko mendengar ibunya tertawa sumbang dan membenahi sapu tangan bapaknya ke laci di dekat pintu. "Dia tidak akan merasakan sakit kalau tidak punya hati Mbak. Dan jelas dia sedang kesakitan."
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK IN MY BLUE
Romance"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."