"Bisa ditanyai, Bu?"
Pertanyaan itu yang terlontar pertama kali ketika Kiko memasuki sebuah kamar di paviliun kediaman Pananggalih yang berada di samping rumah induk.
Kiko menghela napas pelan ketika melihat Ibunya menggeleng. Dia menatap tangan Ibunya yang menggenggam tangan saudara yang baru ditemukannya itu. Silsilah yang cukup rumit dalam berbagai segi, baik segi umur dan hirarki. Mereka memiliki jarak usia yang cukup banyak.
Wanita itu, duduk di kursi roda. Tidak bermaksud membuat tidak nyaman atau lain sebagainya, tapi mereka memutuskan untuk membuat dokumentasi berupa beberapa foto saat wanita itu datang. Dan sekarang, setelah dia dirapikan. Semacam before and after.
Kiko tersenyum saat menatap tangan Ibunya dan wanita itu yang bergenggaman. Wanita itu, walaupun diam, terlihat sangat nyaman.
"Bulik kamu ini sepertinya bisu dan tuli. Kemungkinan besar juga dia tidak pernah belajar secara formal bahasa isyarat."
Kiko memeluk pundak Ibunya. "Sabar ya Bu. Kita pasti bisa melewati ini. Sekarang, kita pikirkan saja dimana Mbak ini harus tinggal."
Kiko tersenyum ketika Ibunya mengusap pipinya dan menepuknya pelan. "Untuk sementara di sini, Michiko. Bude Gemintang dan Pakde Angger memberikan tempat dan orang-orangnya akan memberikan penjagaan ketat. Untuk sementara, kita akan tinggal di Bausasran agar dekat."
"Dalem, Bu."
"Sudah bertemu Mas Ankaa? Dia masih tidur waktu Ibu datang. Sepertinya habis shift malam."
"Belum. Nanti Kiko ketemu sebentar. Sekarang, Kiko mau lihat Mbak Jum sebentar."
"Ya sudah sana."
Kiko beranjak dan mencium pipi Ibunya. Dia lalu menghampiri sepupu yang asing untuknya dan memberikannya ciuman di kepala yang sangat dalam. Wangi mint menguat dari rambut wanita yang memberikan reaksi itu. Wanita itu bergumam tak jelas dan menatap Kiko. Dia tertawa tanpa suara. Hanya mulutnya yang terbuka lebar.
"Nanti Kiko kemari lagi, Bu."
"Huum."
Kiko beringsut dan berjalan menghampiri pintu. Dia menoleh sejenak dan melambai sambil tersenyum lebar. Sepupu nya, yang entah siapa namanya, terlihat bergerak di kursi rodanya. Dia terlihat gembira.
Kiko menarik gagang pintu dan keluar dari paviliun. Dia merunduk ke arah dua orang pria yang berbincang di sudut teras. Mereka adalah Andi dalem Keprajan keluarga Pananggalih yang ditempatkan secara khusus di paviliun itu. Dengan langkah berjingkat Kiko menuruni teras dan menapak setapak dengan batuan granit yang dihaluskan permukaannya. Dia kembali membuka sebuah pintu kayu berukir dan keluar. Kiko menyusuri jalan setapak menuju rumah induk.
KAMU SEDANG MEMBACA
PINK IN MY BLUE
Romance"Heh cewek sipit, medhok..." "Hisssh...jauh-jauh..." "Nama kok seperti es jeli." "Hiish...saya sumpahin Mas naksir!" "Aku? Naksir kamu?" "Iya." "Bilang R dulu yang benar baru nanti ditaksir. Hahaha..." "Mas Ankaa jeleeeeeek..."