Mimpi

126 14 8
                                    

Khazani pov

Senja berangsur menggelap, sang mentari juga telah bersiap kembali pulang di lahunan nirwana saat lolongan kesakitan sahut menyahut memaksa memasuki runguku. Aku tak peduli. Semangatku berkobar untuk terus bertarung, berjuang membasmi para iblis yang telah dibutakan oleh keserakahan juga keinginan untuk menguasai dunia agar berada dalam kendali mereka.

Iblis-iblis tamak berbadan tinggi besar, bermata gelap pekat, juga muka yang hancur tak berbentuk. Mereka di pimpin oleh Igor si iblis terkuat penguasa istana kegelapan, yang terus membuat kekacauan dan berusaha merebut mahkota kaisar terpilih pemimpin dunia juga kalung amethys merah lambang keadilan dan perdamaian di muka bumi.

Tanpa menghiraukan letih dan kucuran cairan merah pekat di kening juga hampir di sekujur tubuhku yang berpostur menjulang tinggi, aku terus mengayunkan pedang di tanganku menghabisi lawan-lawan yang terus berusaha membunuhku. Aku enggan kalah. Aku tak mau menyerah karena kemenangan harus berada di sisiku, demi keselamatan putra sang dewi yang di titipkan padaku, pada kami para ksatria bulan yang telah di tunjuk oleh sang dewi untuk menjaga perdamaian dunia.

Satu-persatu mereka tumbang tersayat pedang yang kuberi nama Eleuther, meski sebenarnya aku sungguh benci darah hitam pekat mereka mengotori pedang kesayanganku. Sambil terus mengayunkan pedang menghabisi lawan-lawanku, kulihat di sisi kanan juga kiriku saudara-saudaraku masih bertahan dan melawan dalam kepungan para iblis itu. Hanya saja sepertinya jumlah iblis itu enggan berkurang, makin lama jumlah mereka semakin bertambah meski banyak dari mereka telah habis di tanganku juga saudara-saudaraku.

Dan tepat beberapa hasta di belakangku, netraku menangkap pergerakan salah satu iblis laknat yang tengah mendekati putra sang dewi. Aku hendak berlari menyelamatkan putra sang dewi yang tengah menangis ketakutan,  tapi salah satu saudaraku telah mendahuluiku. Dia berlari sekuat tenaga sebelum iblis keparat itu mencabik tubuh kecil putra sang dewi. Dan tanpa aku sangka, dia menjadikan punggungnya sendiri sebagai tameng perlindungan.

Aku berusaha berlari mendekati saudaraku, tapi salah satu iblis keparat itu berhasil mencabik belakang leherku dengan kuku-kuku yang tampak kotor menjijikkan dan mencengkram pundakku. Tanpa sadar aku menjerit memanggil nama saudaraku

"Linaaaaaar.....linaaaaaaar....."

Kupejamkan mataku sambil terus meronta sekuat tenaga dari cengkraman iblis laknat itu, aku sungguh tidak suka melihat secara dekat tampang jelek mereka. Aku terus meronta agar aku bisa membantu Linardy menjaga putra sang dewi.

Namun beberapa saat kemudian, aku merasakan sesuatu yang perih juga panas menerpa pipiku. Saat kubuka mataku, dia diatasku berkali-kali menampari pipiku, rasanya sungguh panas dan perih seperti ada luka baru yang telah tergores disana. Aku juga terkejut saat aku melihat pemandangan di depanku berubah seratus delapan puluh derajat dari pemandangan pertarungan beberapa saat yang lalu.

Sekarang yang kulihat hanya sebuah kamar kecil berukuran 3 x 3 meter dengan beberapa hiasan sederhana di dindingnya, juga terdapat meja serta sofa kecil di sudut ruangan, di seberang ranjang tempatku terduduk kebingungan dengan situasi yang tengah kualami saat ini.

"Sudah bangun?", dia turun lalu melangkah menuju meja dan menuang air pada gelas kecil di atas meja itu.

"Jangan bilang kamu mimpi hal yang sama lagi", dia mengatakan sesuatu yang tidak aku mengerti.

"Nih, minum air dulu, pelan-pelan", tanganku bergetar saat menerima gelas berisi air putih yang dia sodorkan padaku. Akan tetapi saat melihat kondisi tanganku, dia langsung sigap membantu aku meminum air juga mengelap peluh yang mengalir deras di keningku, dengan aku terus berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.

Setelah aku menyadari semuanya, aku langsung memeluk pria di hadapanku seakan mencari perlindungan padanya.

"Kakaaak....." isak panggilku pada Salvio kakakku tercinta, satu-satunya keluarga kandung yang aku miliki.

"Sabar ya, Kha? Kita pasti bisa keluar dari masalah ini, mimpi-mimpi yang kita alami pasti saling berhubungan satu sama lain" jelas Vio berusaha menenangkanku. Yah, dia juga sering bermimpi hal-hal aneh yang memang mirip dengan mimpi yang hampir tiap malam hadir dalam tidurku.

"Kakak sudah simpan nama yang selalu kamu panggil setiap kali kamu mengigau, meski kakak tidak tahu Linar itu laki-laki atau perempuan" lanjut kakakku tanpa melepas pelukannya di tubuhku.

"Aku tidak tahu kak, aku tidak pernah melihat dengan jelas wajah-wajah mereka yang hadir dalam mimpiku setiap malam. Aku hanya tahu mereka ada enam orang termasuk aku, juga seorang anak laki-laki berusia sekitar 8 tahun. Dan malam ini aku tahu nama lengkap si Linar itu. Aku ingat namanya Linardy", dengan terisak dalam pelukan hangat kakakku, aku berusaha memberi gambaran lebih padanya dari apa yang aku ingat dalam mimpiku.

"Baiklah, aku catat namanya. Sekarang kamu tidur lagi ya Kha. Besok kakak akan ke perpustakaan kota sama Refanka. Siapa tahu kita akan dapat petunjuk disana", titah kakakku.

"Temani aku malam ini kak" pintaku setengah merajuk padanya.

Dia tersenyum sambil mengusak pelan rambut hitamku, lalu masuk dalam selimut tebal di ranjangku, membaringkan tubuh di sampingku dan memelukku hingga kami berdua sama-sama terlelap.

Meski sebenarnya aku tidak benar-benar lelap, karena aku masih bisa merasakan perih di belakang leher juga rasa bersalah yang entah darimana datangnya. Terutama nama Linardy yang sekarang memenuhi otakku.

Aku tak berani membuat asumsi jika mungkin kakakkulah Linardy yang berada dalam mimpiku, karena dia juga memimpikan hal-hal yang sama. Sungguh aku tak bisa meski hanya sekedar membayangkannya.

To Be Or Not To BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang