Kebodohan

45 9 0
                                    

Sang bulan tengah bersinar dengan terang di antara kerlingan bintang, di atas mayapada nan luas tanpa batas. Ketika dia sedang enggan untuk terus bersembunyi di balik awan, yang terus berarak beriringan saling berlomba mengejar dan ingin terus kembali menutup cahaya temaram sang bulan. Seakan tak merelakan bumi untuk ikut menikmati keindahan damai sang malam.

Di hamparan cakrawala, terlihat burung-burung malam yang tengah menari dengan riang gembira, berceloteh bersahutan menambah keceriaan damai malam. Mereka seakan ingin ikut mencecap kebahagiaan bersama lima orang pemuda, yang tengah bercengkrama berseling tawa di antara gemerlap keindahan kota.

Malam yang sama pada semesta yang berbeda. Dari atas langit luas, terlihat sosok pemuda mungil yang juga tengah ikut berbahagia, sembari menyenandungkan sebuah lagu penghantar tidur untuk ibunda yang sangat dia cintai.

Pemuda bersurai coklat yang memiliki tinggi tubuh sekitar 168 cm, yang tentu saja di anggap pendek oleh sebagian warga Wroclaw yang rata-rata memiliki tinggi di atas 170 cm. Pemuda yang saat ini mengenakan setelan piyama tidur bercorak garis vertikal warna putih biru itu, bersyukur atas kebahagiaan yang dirasakannya.

Kebahagiaan yang telah sejak lama dia tunggu dengan sabar untuk datang kepadanya. Kebahagiaan yang kini telah terbangun di relung terdalam hatinya, dalam hati yang telah di paksa untuk terus terbaring tidur oleh luka yang telah mengendap bertahun-tahun. Hati yang telah hanya dia berikan kepada ibu dan ayahnya serta Shawn, seorang adik sekaligus sahabatnya.

Juga hati yang kini telah kembali bersemi, setelah tanpa sengaja ruang rungu sang pemuda tampan mendengar banyak suara dari percakapan ringan yang tengah terjadi di semesta lain, semesta yang berbeda dengannya melalui gawai kesayangannya.

Suara-suara yang telah lama ingin dia lupakan nama dari pemiliknya masing-masing. Namun seberapa keraspun dia mencoba, dia tak pernah sanggup melakukannya. Suara-suara yang mampu membuat dia menarik kedua sudut kiri dan kanan bibirnya ke arah atas sekali lagi.

Juga senyuman yang begitu lebar ketika menyadari bahwa teman yang telah sejak lama dia sayangi, sahabat yang telah dia anggap sebagai seorang adik dengan pembawaan sikap yang bisa dibilang sangat polos itu, ternyata memang benar adiknya sendiri. Seorang adik yang baru saja telah melakukan kebodohan.

Bagaimana tidak bodoh. Jika ternyata, dia telah tanpa sengaja menekan tombol panggilan untuknya pada gawai kesayangannya itu. Yang sudah pasti pemuda mungil itu akan selalu menjawab panggilan dari adik cerobohnya itu, sekaligus menekan tombol record disana.

Percakapan yang tengah terjadi di seberang sana, percakapan dari suara-suara yang telah lama tidak dia dengar, sekarang mengalun indah di kedua telinganya yang telah terpasang earphone sedari tadi.

Rindu.

Rasa yang telah mengakar sangat erat di dasar sanubarinya, kini kembali menguar muncul ke permukaan. Hati kecilnya tak bisa memungkiri jika dia memang merindukan sosok-sosok yang dulu selalu menjadi tempat dia bergantung, hanya otaknya yang tetap saja tak mau mengerti sakit yang dirasakan oleh sang hati.

Otaknya telah benar-benar menolak semua kerinduan yang dia rasa pada sosok-sosok yang dulu selalu menjadi tempat dia mengadu atas segala hal yang dia alami. Sosok yang selalu melindunginya dari semua anak-anak panti yang suka mengganggunya, dikarenakan oleh kedengkian atas kasih sayang yang ada di antara mereka. Kasih sayang dari ke empat kakaknya yang juga sangat dia cintai.

Dia merindukan semuanya.

"Jika mereka ingin bertemu, maka aku lebih ingin bertemu dengan mereka" gumam pemuda itu lirih, takut membangunkan ibunya yang ternyata telah tertidur pulas oleh lagu penghantar tidur yang dia lantunkan dengan indah.

To Be Or Not To BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang