Ready for Everything

32 8 0
                                    

Hershel pov

Panjang lebar wanita itu bercerita tentang gigihnya pencarian Salvio dan yang lainnya atasku, tentang semua yang sudah mereka lakukan untuk menemukanku. Hingga rasa bersalah di hatiku menjadi semakin besar, bahkan juga membuatku merasa kecil di hadapan semua kakakku.

Mereka melakukannya bersama, bahkan sejak mereka di bawa ke rumah orang tua angkat masing-masing. Meski mereka tinggal di kota yang berbeda, pada akhirnya mereka tetap saling mencari satu sama lain dan tidak lagi memutus komunikasi di antara mereka semua.

Juga bagaimana tingkah mereka ketika telah berhasil menemukanku, meski saat itu mereka masih tak berani untuk menemuiku, karena emosi tolol yang pernah aku luapkan di hadapan mereka.

Aku benar-benar bodoh, karena tak pernah memikirkan resiko dari amarah yang saat itu meluap begitu saja. Aku hanya merasa beruntung, mereka tak sekalipun pernah marah apalagi membenciku.

Mungkin syukurku takkan pernah cukup untuk mengganti hampa yang pernah ada di antara kami, namun tetap tidak akan berhenti aku berterima kasih pada Bapa yang telah kembali menyatukan kami.

Tanpa sadar aku menangis dalam pelukan wanita yang meski hanya sekian menit mengenalku, tetapi dia telah menganggap diriku sebagai putra yang telah lama tak dia temui. Bapa di surga, tolong jangan pernah kau renggut lagi kebahagiaan ini dariku juga mereka yang menyayangiku.

"Menangislah sayang. Mama akan selalu disini, tolong jangan pernah ragu memberi tahu mama setiap kali kamu membutuhkan sesuatu" lembut suara wanita itu membuatku hanya menganggukkan kepala, dengan masih disertai tangisan yang terdengar semakin jelas.

Sedangkan di sisi lain, ibuku yang lain juga tengah menangis melihat netraku yang masih saja enggan berhenti mengalirkan bening. Sungguh tak ada lagi yang aku ingin atau butuhkan, jika aku sudah memiliki dua orang ibu yang begitu menyayangiku.

"Jangan lagi memintaku untuk pergi meninggalkanmu, ma. Tidak. Aku sudah menemukan keluargaku, aku tidak mau kehilangan lagi" pintaku pada wanita itu sembari memeluk tubuh kurusnya.

"Aku juga mau di peluk" ucap adikku tiba-tiba.

"Kamu sama papa saja, sini" suara satu-satunya pria dewasa di dalam ruangan ini sembari menepuk pelan samping kosong sofa yang tengah dia duduki, dengan suara sedikit berat khas bapak-bapak miliknya.

Pria yang aku perkirakan berusia di atas empat puluh tahun itu, terlihat sangat tampan berwibawa dengan setelan kemeja motif kotak warna hitam dan juga celana panjang bahan kain warna putih tulang.

Dengan aura yang terlihat dingin dan cuek bagi orang yang belum mengenalnya, padahal sebenarnya mempunyai sikap dan sifat yang sangat lembut terutama pada istri dan juga anak-anaknya.

Sungguh pasangan yang sangat serasi, pikirku dalam hati. Ketika seorang pria tampan disandingkan dengan wanita cantik dan memiliki hati yang lembut seperti Issabelle.

Wanita itu terlihat sangat anggun dalam balutan dress putih selutut, dengan rambut hitam panjang sebahunya yang di biarkan terurai begitu saja.

"Shawn, bantuin mama angkatin sarapan kita semua kesini"

Sebuah suara wanita paruh baya yang lain membuatku tersentak dari lamunan, bersamaan dengan suara pintu depan yang terbuka lebar dan menampilkan sepasang suami istri yang lain. Kenndrick dan Whitney Chevelier, kedua orang tua kandung Shawn yang telah lama aku kenal.

Membuatku dan yang lain hendak bangkit berdiri agar bisa segera mengambil sarapan di apartemen tempat Shawn beserta keluarganya tinggal.

Selain karena lelah dari obrolan yang berlangsung semalaman, juga karena cacing di perut mereka yang sudah sedari tadi berteriak seakan tengah berdemo meminta di isi.

To Be Or Not To BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang