Hershel pov
Perlahan aku mencoba membuka mataku yang terasa sedikit berat, kemudian mengerjap-kerjapkannya sebentar lalu hanya putih bersih yang kulihat mengelilingi seluruh ruangan ini. Yang lalu membuatku merasa agak sedikit kebingungan, di antara lenguhan rasa sakit yang mendera di seluruh lingkar kepalaku.
Aku tidak tahu tempat apakah ini, apakah sekarang ini adalah siang hari atau mungkin juga sebaliknya di tengah malam hari. Hanya ada cahaya lampu yang berpendar temaram di atas langit-langit yang menerangi seluruh sudut ruangan, sebagai satu-satunya alat yang bisa aku gunakan sebagai penerangan untuk menelisik ke seluruh ruangan yang berukuran sekitar 3 x 4 meter ini.
Aku dimana? Apakah ini surga?
Namun tidak ada apapun yang ada di ruangan ini, selain hanya ranjang tempat aku berbaring juga sebuah meja kabinet berbahan plat baja ringan dengan tinggi sekitar 85 cm juga lebar sekitar 40 cm atau 45 cm. Sedangkan di bagian atas meja kabinet itu, menggunakan bahan melamin agak tebal yang memiliki serat kayu jati.
Selain itu ada sebuah laci dan juga pintu kecil di bagian paling bawah meja, sedangkan di samping kanan meja juga ada sebuah stainlees tipis berbentuk huruf U memanjang, yang mungkin sebagai tempat untuk menggantung kain seperti handuk atau juga lap.
Sedangkan di atas meja kabinet itu telah tersedia segelas susu putih, yang aku perkirakan sudah mulai dingin juga beberapa buah strawberry yang selalu menjadi kesukaanku.
Ah, mungkin aku memang telah mati. Pikirku.
Karena jika bukan Bapa, lalu siapa lagi yang mengetahui buah mana yang selama ini menjadi favoritku. Tidak ada seorangpun yang tahu kecuali ayah, ibu dan juga Shawn.
Hanya saja ketika aku mengingat nama adikku itu, aku juga kembali mengingat malam itu. Malam saat aku kembali dipertemukan dengan mereka yang telah lama ingin aku lupakan, aku membenci sekaligus mencintai mereka di saat sama.
Malam ketika aku benar-benar bisa memahami rindu yang dulu tidak pernah bisa aku buang begitu saja. Kini aku mengerti alasan kami saling terikat satu sama lain, aku mengerti alasan aku tidak pernah bisa membuang jauh bayangan mereka. Aku telah memahami semuanya. Tapi biarlah, toh aku sudah disini di sisi Bapa.
Tapi tunggu.
Apakah netraku melihat sebuah ponsel. Apakah yang aku lihat itu memang benar ponsel. Tapi punya siapa. Apakah di surga juga ada gawai pintar. Entahlah. Sakit di kepalaku terasa makin menyiksa, ketika aku kembali mencoba untuk berpikir keras.
Namun, ketika aku hendak bangkit untuk mengambil gawai yang juga tergeletak di atas meja kabinet itu. Aku merasakan seperti ada jari jemari tengah menggenggam telapak tangan kiriku, yang tentu saja aku menoleh ke arah jari jemari yang terlihat lentik itu.
Yang ternyata netraku menangkap ke arah sosok pemuda bersurai kecoklatan, ketika aku melanjutkan arah mataku sedikit lebih ke atas. Pemuda yang tengah tertidur dengan sangat pulas berbantal lengan juga telapak tangan kami berdua.
Mengapa keindahan ini harus kau wujudkan dalam bentuk sesosok pemuda, Bapa?
Lihatlah itu, hidung panjang yang lancip tegak ke arah depan. Rahang yang tegas dan memanjang, juga bibir tipisnya. Oh, jangan lupakan bulu-bulu mata nan lentik itu. Tampan.
Sungguh sangat serasi keindahan pada wajah pemuda itu. Yang mungkin akan membuatku benar-benar bisa jatuh cinta, jika dia adalah seorang wanita.
Sebisa mungkin aku berusaha, agar tangan kiriku bisa terlepas dari genggaman erat telapak tangan pemuda tampan itu. Karena alih-alih ingin mengambil ponsel yang sejak tadi mengganggu pikiranku. Akan tetapi malah susu putih yang berada di atas meja kabinetlah, yang sekarang menjadi incaran utamaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Or Not To Be
FantasyPerjalanan mencari jati diri dari enam ksatria bulan yang di hapus ingatannya dan buang oleh dewi bulan ke bumi menjadi enam manusia biasa, karena kemarahan sang dewi atas kesalahan yang tidak mereka mengerti dari titah sang dewi. Mereka harus menca...