Refanka pov
Namaku Refanka Archard, putra sulung keluarga Archard. Saat ini aku tinggal di apartemen sederhana milik orang tua angkatku bersama Lyndon Archard adik kandungku. Setahun lalu saat kakekku, ayah dari ibu angkatku meninggal. Keduanya memutuskan untuk pulang dan menetap di negara asal mereka Indonesia bersama adik bungsuku Ivonne Hartanto, putri kandung orang tua angkatku.
Setelah menjual seluruh aset yang mereka miliki disini dan juga membelikan apartemen untuk aku dan juga adikku, mereka langsung berangkat menuju Indonesia. Meski sebenarnya mereka meminta kami agar ikut bersama mereka, hanya saja mereka mengetahui dengan jelas apa yang terjadi dan kami alami. Itu sebabnya mereka tidak memaksa kami mengikuti mereka.
Usiaku dan Lyndon tak berbeda jauh, hanya selisih sekitar satu setengah tahun. Hanya saja ketika aku masih berusia dua tahun, aku dan Lyndon terpaksa tinggal di sebuah panti asuhan kecil yang terletak di pinggiran kota Wroclaw, kota para dwarf di Polandia. Panti asuhan tempat pasangan Tobia dan Serafina Hartanto berkenan mengambil aku dan adikku menjadi anggota baru di keluarga kecil mereka.
Insiden kecelakaaan, tabrakan antara dua kereta api di Ursus pinggiran Warsawa tahun 2001, yang saat itu menewaskan 16 penumpang termasuk kedua orang tua kandung kami. Entahlah aku tidak tahu jelas. Aku hanya mendengar kisah itu dari para suster yang selalu telaten dan sabar mengasuh kami. Bahkan sampai sekarang pun aku tak pernah sanggup mencari kebenaran informasi yang para suster ceritakan pada kami.
Karena aku sungguh tak berani jika harus membayangkan sakit yang kedua orang tuaku rasakan di saat itu. Kalau saja bibiku, adik ibuku tidak memiliki foto orang tuaku, maka aku dan Lyndon takkan pernah tahu wajah mereka.
Di panti asuhan ini juga aku bertemu dengan kakak beradik Delancey, mereka Salvio dan Khazani Delancey. Dan juga seorang bayi mungil bernama Hershel Grainger. Kami semua adalah anak-anak dari para korban insiden kecelakaan kereta api yang sama.
Lima tahun yang kami jalani juga luka yang sama-sama kami rasa bersama, ternyata sanggup mendekatkan kami layaknya keluarga serta menumbuhkan rasa kasih dan sayang di antara kami. Seperti ada ikatan batin yang tak bisa kami lepas begitu saja, hingga tak satupun dari kami yang bersedia untuk di adopsi oleh siapapun, karena kami tak ingin terpisah antara satu sama yang lain.
Semenjak itu setiap kali ada keributan yang terjadi di panti, maka pelakunya tidak lain dan tidak bukan adalah kami. Kenakalan-kenakalan yang sering dengan sengaja kami perbuat, seringkali juga mendapat hukuman dari suster kepala. Hanya saja tetap tak pernah membuat kami berubah menjadi jera, malah makin sengaja kami tunjukkan agar suster kepala tak menyodorkan kami sebagai anak-anak baik untuk di adopsi oleh pasangan sakit dari luar sana. Pasangan mandul yang tak mampu memiliki keturunan mereka sendiri.
Bahkan setiap kali ada sepasang suami istri yang datang berniat mengadopsi anak dari panti tempat kami tinggal, maka kami akan menyiapkan beribu macam cara dan juga keributan agar pasangan itu tidak mengambil salah satu dari kami.
Hanya saja apalah dayaku yang saat itu hanya seorang anak kecil berusia tujuh tahun. Ketika untuk kesekian kalinya suster kepala menangis dan memintaku mengalah pada peraturan yang sudah ditetapkan oleh para pendiri yayasan beserta para donaturnya. Dengan menyentuh nuraniku melalui kalimat-kalimat sederhana agar anak kecil sepertiku mampu memahami maksud dari tiap-tiap kalimat yang terucap.
*****
Aku menangis.
Tanpa aku sadari Salvio sudah duduk di sebelahku sembari menyunggingkan senyum bulan sabitnya, senyum andalan miliknya yang terlihat begitu manis ketika kedua matanya seperti melengkung membentuk bulan sabit di langit tinggi.
Sahabat sekaligus orang yang sudah aku anggap adikku sendiri itu, saat ini hanya mengenakan t-shirt biru bercelana katun pendek, terlihat begitu tampan meski hanya outfit rumahan sederhana itulah yang melekat di tubuhnya yang setengah berisi. Seandainya saja dia seorang wanita, aku takkan ragu memberikan hatiku padanya.
"Kenapa lagi?" aku hanya berusaha tersenyum meski sepertinya sama sekali tak berguna di hadapan pria itu.
"Jelek ih senyumnya. Senyum tuh gini lho" dia malah mencubit kedua pipi kanan juga kiriku, lalu sengaja di tariknya ke atas.
"Sakit... Vi" sungutku.
"Salah sendiri melamun. Kesambet setan lho ntar!" senyum itu masih enggan terlepas dari bibir tipis miliknya.
"Kenapa, sih?"
"Aku kangen Hershel, Vi" tiba-tiba dia terdiam, hingga senyum yang tadi begitu lebar seketika raib entah kemana.
"Kita semua kangen sama dia, Ka. Aku, Khaza juga Lydo. Tapi please jangan kaya gini. Kita tunggu saja kabar dari Shawn, biarkan dia yang menemani Hershel sampai dia siap kembali berkumpul bersama kita. Maafin aku, Ka!!!" lirihnya sembari melepas cubitan tangannya di kedua pipiku.
Kalimat terakhir Salvio yang mengandung ribuan kilo rasa sakit, seketika menyadarkanku pada kenyataan bahwa tak ada satupun dari kami yang pantas untuk di salahkan. Semua terjadi oleh karena keadaan yang saat itu tak bisa kami hindari, yang mana pada akhirnya kami tetap di paksa untuk berpisah.
"Kak, jadi ke perpustakaan tidak?, aku ikut ya" Lyndon adikku itu, dia melongokkan kepalanya di celah pintu kamarnya yang sedikit dia buka.
"Sebentar lagi, Do" sahutku sambil mengkode dia untuk melihat ke arah Salvio yang tengah menundukkan kepala, seperti sedang menghitung banyaknya serat di bulu-bulu karpet yang terhampar di ruang tengah apartemenku.
Ada tiga kamar di apartemen kami berdua, satu kamar di depan adalah milik adikku. Sedangkan aku ada di kamar tengah dekat dengan dapur, dan satu kamar lagi di sebelah kamarku, aku gunakan sebagai ruang studio pribadiku. Sebagai seorang pelukis muda, aku bersyukur memiliki studio pribadiku sendiri, yang meski memiliki ukuran tidak terlalu besar. Yang penting ada ketenangan disana, karena adikku sama sekali tak pernah menggangguku setiap kali aku berada di dalamnya, dan terkadang membuatku tertidur disana di setiap lelah yang aku rasa.
Sedangkan Salvio dan Khazani juga tinggal di apartemen dengan type dan lantai yang sama dengan kami. Apartemen milik mereka tepat berada di depan apartemen milikku dan adikku. Hanya saja satu kamar di apartemen itu, sengaja mereka biarkan kosong, dengan alasan kamar itu untuk Hershel jika suatu saat dia berkenan kembali pada kami. Itu adalah alasan sebenarnya kedua anak itu sengaja memilih tempat tinggal yang berdekatan dengan kami, agar kami bisa kembali bersama-sama dalam suka maupun duka.
"Heh, tikus. Sudah kelar belum ngitungnya". Adikku masih sama seperti dulu, hanya bentuk tubuhnya saja yang berubah. Sungguh sangat tidak sinkron antara bentuk tubuh dan kelakuannya. Kekar di otot kedua lengannya, tidak berjalan lurus dengan tingkah kekanakannya.
"Dasar kucing nggak tahu sopan santun. Sini kamu!" kedua musuh bebuyutan itu mulai beradu mulut dengan Salvio yang sudah bergerak ke arah Lyndon. Tapi tidak mengapa, daripada aku harus melihat Salvio yang hanya diam menunduk.
"Aduuuh, ampuuuun. Kak Refan, tolongiiiinn....." Salvio menjewer telinga Lyndon sampai memerah, seperti seorang bapak tengah menghukum anaknya yang sudah berbuat kesalahan.
Disini aku hanya tersenyum melihat kelakuan mereka berdua yang tak pernah berubah, meski sekarang usia kami sudah di atas angka dua puluh.
Tanpa banyak bicara, aku menggamit lengan kedua adikku itu. Menyeret mereka keluar apartemen dan langsung berjalan menuju perpustakaan Ossolineum yang cukup di tempuh dengan berjalan kaki sekitar 10 sampai 15 menit, karena jarak apartemen dan perpustakaan tidak terlalu jauh. Dan juga meski ternyata baku hantam antara kedua musuh bebuyutan itu tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan segera berhenti.
Ah, sudahlah. Biarkan saja mereka begitu. Karena merekalah, aku tetap bisa tersenyum dalam penantian yang bahkan hingga sampai saat ini.
------------------------------------------------------------------
Kecelakaan dua kereta api yang terjadi di Ursus pinggiran Warsawa, benar adanya. Aku hanya mengganti tahunnya. Karena kejadian aslinya di tahun 1999.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Or Not To Be
FantasyPerjalanan mencari jati diri dari enam ksatria bulan yang di hapus ingatannya dan buang oleh dewi bulan ke bumi menjadi enam manusia biasa, karena kemarahan sang dewi atas kesalahan yang tidak mereka mengerti dari titah sang dewi. Mereka harus menca...