Sang mentari menampakkan lembut sinar miliknya di atas cakrawala, yang tidak satu centimeterpun mau menggeser tubuhnya dari tempat dia bersinar. Namun hangat cahayanya tetap tidak mampu membuat hamparan salju yang terbentang di sejauh mata memandang, berkenan untuk sedikit meluluhkan bongkahan putih bersihnya.
Di hamparan itulah, sang ksatria berusaha untuk bisa membuat api yang telah sedikit menyala pada perapian buatan Josiah yang tidak akan hangus terbakar meski terbuat hanya dari tumpukan kayu yang sudah dia kumpulkan sebelumnya, agar api itu terus menghangatkan tubuh manusia terkasih, yang sudah duduk di depan mereka kecuali tiga ibu mereka.
"Aku akan melihat mama dulu"
"Cepatlah, Hyuga"
"Aaaaakkkkkk"
Namun sebelum dia sempat melangkahkan kaki ke arah pintu pesawat, mereka semua di kejutkan oleh suara Jolanda yang tengah berteriak seperti sedang kesakitan. Yang membuat mereka segera berlari menuju ke arah asal suara.
"Ma, kenapa?"
Hyuga yang bertanya atas rasa khawatir di hatinya, pada wanita yang selalu di anggap sebagai ibunya. Namun wanita itu hanya menunjuk ke arah kakinya, yang kini sudah bisa di gerakkan dengan leluasa. Membuat Shiryu memejamkan mata lalu berterima kasih pada Sang Luna, yang telah merestui dirinya menyembuhkan wanita itu.
"Puji Tuhan, kaki kamu sembuh Jola"
Ketika ke empat wanita itu saling memeluk satu sama lain di antara senyuman bahagia tiga pria paruh baya yang berdiri di sekitar mereka, sepuluh pemuda yang saat ini juga berdiri di tempat itu menolehkan kepala ke arah Shiryu yang hanya menggaruk kepala yang sebenarnya tidak terasa gatal.
Dengan isyarat mata mereka, yang seolah bertanya tentang penyebab kesembuhan sang ibu. Namun pemuda bersurai sedikit panjang itu hanya mencebik dan memutar bola matanya malas, karena baginya untuk apa mereka bertanya jika mereka sudah tahu jawabannya.
"Dasar, Shiryu sombong. Tidak punya adat dan tata krama. Jawab aku, bodoh. Ah, aku lupa. Kalian tidak akan berani. Hahahaha"
Dia mendengar suara itu, bahkan mereka semua mendengarnya kecuali orang tua mereka tentunya. Itu sebab mereka tidak merasa perlu untuk menjawab kalimat pria itu.
*****
Di sisi lain, di sebuah taman yang bernama Szczytnicki di Wroclaw, yang tidak satupun orang terlihat mengunjunginya ketika sang malam telah berada pada pergantian hari.
"Keparat. Mereka sudah tahu langkahku"
"Sudahlah, sayang. Ajalmu sudah dekat. Berhentilah. Kau tidak akan mendapatkan apapun, dasar bodoh"
"Diam kau, bangsat"
"Hahahahahahahaha"
"Aku bilang diam!"
"Manis sekali kalau kau marah, sayang. Aku suka melihatnya"
Pria itu hanya diam, enggan untuk kembali menanggapi kalimat wanita yang memang sama sekali tidak pernah dia cintai. Sejak dulu dia hanya memanfaatkan cinta wanita itu untuk tujuannya sendiri, juga tubuhnya yang hanya menjadi pemuas nafsunya saat sang kekasih hati tidak berada di sisinya.
Karena hanya ada satu wanita yang tidak pernah berhenti dia cintai bahkan hingga saat ini, satu-satunya wanita yang sudah menguasai hati dan pikirannya, gadis itu yang selama ini menjadi pemilik hatinya. Hanya saja, dirinya tidak pernah memiliki sedikit keberuntungan untuk menjadikan sang pujaan hati sebagai istrinya.
Dia tidak pernah bisa melupakan, saat dia di buang ke neraka. Dia mengingat dengan baik, meski itu telah ratusan tahun berlalu. Tapi keberuntungan nasib berada di pihak dirinya, ketika dia bertemu dengan sosok pria yang menjadi penolong juga sekaligus perantara pembalasan dendamnya, meski pria itu juga menjadi salah satu alasan dari munculnya dendam di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Or Not To Be
FantasyPerjalanan mencari jati diri dari enam ksatria bulan yang di hapus ingatannya dan buang oleh dewi bulan ke bumi menjadi enam manusia biasa, karena kemarahan sang dewi atas kesalahan yang tidak mereka mengerti dari titah sang dewi. Mereka harus menca...