Matahari sama sekali tidak menampakkan cahayanya, ketika mereka menginjakkan kaki di atas lautan bongkahan es setebal sekitar tiga meter. Saat lukisan malam di langit Greenland di wilayah Arktik, bergambar nautical polar night yang terlihat seperti himpunan kabut tipis dengan warna hijau bercahaya lembut, yang biasa di namakan aurora oleh orang awam. Yang di saat ini, seluruh wilayah Arktik memang sedang mengalami musim dingin.
Cahaya aurora yang menjadi satu-satunya penerang, setelah perjalanan singkat yang sudah mereka tempuh hanya selama satu kali dua puluh empat jam menuju ke sini. Yang kini hanya dengan mengikuti insting Sheya yang selalu kuat, mereka melangkahkan kaki tanpa sedikitpun merasa ragu, hingga mereka akhirnya sampai di sebuah goa es yang sangat mencurigakan mereka.
"Apa ini markas utama mereka?"
"Mungkin saja. Tapi kenapa tidak ada suara sama sekali? Ini terlalu hening"
"Benar. Aku tidak suka hening seperti ini"
Mereka hanya diam, saat tiga adik termuda mereka berargumen tentang suasana yang memang terasa terlalu tenang serta damai. Seperti sebuah ketenangan sebelum badai menerjang atau seperti air laut yang telah menyurut sebelum gelombang ganas pada akhirnya datang, meluluh lantakkan semua kawasan yang terkena gilasannya.
"Linar, jangan di buka pintunya"
Sheya yang berteriak keras, ketika tangan sang adik hendak mendorong pintu besar di tengah goa es itu. Dia yang kini memang merasakan kejanggalan dari suasana yang ada di sekitar mereka. Terutama dadanya yang sekarang berdetak tidak beraturan, seakan telah mengetahui bahwa bahaya sedang mengintai mereka semua.
"Kenapa, kak? Untuk apa kita jauh-jauh ke sini, jika kita tidak menyelesaikannya?"
"Yang di katakan Linar benar, Sheya. Kalau tempat ini memang markas mereka, maka kita hancurkan sekarang, terlepas ada atau tidaknya bahaya di sini. Jadi lebih baik kita masuk dulu, untuk memastikan tempat ini markas mereka atau bukan"
"Baiklah. Tapi berhati-hatilah kalian"
"Tenanglah, kak. Kita kan tetap bersama"
Kalimat sederhana sang adik, benar-benar bisa membuat detakan kencang di dadanya mereda dengan sendirinya. Kemudian dia menganggukkan kepala, sebagai tanda dia telah siap menghadapi apapun yang ada di balik pintu goa itu.
"Buka pintunya, Linar"
Sebuah jalan panjang, seperti lorong yang kemungkinan tidak memiliki ujung terlihat saat pintu goa terbuka dengan lebar. Yang dengan langkah pasti, mereka memasuki lorong dengan di kiri dan kanannya adalah sebuah dinding es besar memanjang serta tinggi yang sangat dingin.
Namun sekali lagi, cuaca dingin bukanlah hal yang mereka takuti. Karena suhu tubuh mereka akan selalu normal, di manapun ke enam ksatria itu berada. Baik saat mereka berada di kutub ataupun di neraka, seperti saat mereka mengejar Igor sampai neraka lalu menyeret iblis itu di hadapan Zeus dan juga Hera.
Sedangkan saat ini, enam ksatria bulan itu hanya mengenakan sebuah setelan dengan perpaduan warna hitam dan juga putih di tubuh mereka, tanpa mantel atau sesuatu yang bisa menjadi penghangat selayaknya manusia biasa. Mereka terus melangkah dengan tatapan waspada, di setiap netra kuning milik mereka masing-masing.
Kemudian mereka berhenti, ketika mereka telah sampai di ujung lorong yang ternyata bercabang menjadi dua arah. Yang dengan banyak pertimbangan, pada akhirnya enam ksatria itu memutuskan berpencar dengan Linardy, Sheya dan Hyuga menuju lorong di sisi kiri, serta Josiah, Kelby dan Shiryu yang menuju lorong di sisi kanan.
"Berhati-hatilah kalian"
"Kalian juga. Dalam satu jam kita bertemu di luar, kalau kita semua tidak menemukan apa-apa di dalam. Ayo, kita samakan jam di tangan kita"
KAMU SEDANG MEMBACA
To Be Or Not To Be
FantasyPerjalanan mencari jati diri dari enam ksatria bulan yang di hapus ingatannya dan buang oleh dewi bulan ke bumi menjadi enam manusia biasa, karena kemarahan sang dewi atas kesalahan yang tidak mereka mengerti dari titah sang dewi. Mereka harus menca...