Kutub Selatan

37 7 0
                                    

Langit telah menggelap bersama suram di tengah hiruk pikuk lalu lintas atau setiap kaum individualis atau juga komunitas yang telah mulai menunjukkan eksistensi mereka. Di antara sekian kaum itu, Sheya hanya mampu diam dalam kecemasan yang sudah dia rasakan sejak dadanya berdetak keras dalam rasa gundah yang entah atas dasar apa.

"Kamu ngapain sendirian di sini, kak?"

Suara berat adiknya itu, sungguh membuat dia sangat terkejut. Bukan karena dirinya yang melamun, dia hanya sedang berpikir cara untuk mengatasi apa yang sedang merasuki hati dan pikirannya.

"Kenapa pucat begitu, kamu sakit?"

Kemudian pemuda kekar itu menempelkan punggung tangannya, menyentuh kening Sheya yang tidak terasa panas sama sekali. Namun, kakaknya itu hanya menurunkan tangannya dengan di barengi tatapan mata yang benar-benar tidak bisa di artikannya, lalu sang kakak menggenggam tangannya erat.

"Kamu kenapa sih, kak?"

Dia tidak juga mendapat jawaban yang dia inginkan, ketika sang kakak saat ini malah melingkarkan lengan di pinggangnya serta seperti sedang mencari tempat untuk bisa sedikit bersandar dari apa yang tidak dia ketahui sama sekali. Dia yang juga ingin membuat sang kakak merasa nyaman saat memeluknya, maka diapun mengeratkan tubuh sang kakak pada tubuhnya sendiri.

"Kak, ada apa sebenarnya?"

Namun, mulut kakaknya itu tidak juga mau bersuara. Hingga membuat dia harus bisa sedikit menahan diri serta emosi atas rasa penasaran yang kini sudah mulai menjalari hati dan pikirannya.

"Ayolah, kak. Cerita kalau ada sesuatu yang sudah mengganjal hatimu. Jangan seperti ini"

"Heh, tikus"

Itulah kalimat yang selalu keluar dari bibir tipis dengan bentakan suara berat khas miliknya, ketika dia sudah kehilangan kesabaran di hatinya yang memang hanya setipis kertas.

"That's better"

Dia yang telah tidak bisa menahan diri atas tingkah Sheya, semakin di buat heran atas kelakuan kakaknya itu. Yang saat ini hanya cengar cengir tidak jelas, kemudian berlalu begitu saja, keluar dari kamar milik sang kakak sendiri, berlalu dari hadapannya.

Padahal sesungguhnya, Sheya hanya tidak tahu cara mengungkapkan kegelisahan di dalam hatinya pada Linardy, sang adik. Dia tidak bisa menghancurkan kebahagiaan juga kehangatan keluarganya malam ini dengan bercerita tentang firasat buruknya. Tidak. Dia tidak bisa melakukannya.

"Dia ada di sini"

Itulah yang sejak tadi telah di katakan oleh hatinya, yang kini dia telah memutuskan untuk menyelinap keluar serta mengikuti langkah kakinya yang tidak dia tahu akan membawanya ke arah mana, karena dia hanya akan mengikuti gerakan firasatnya.

*****

Sementara itu, di atas rooftop salah satu gedung di pusat kota Wroclaw. Dua pria yang salah satunya berperawakan tinggi besar, sedangkan satunya lagi lebih pendek dari yang lainnya.

"Siapa yang berani menantangku?"

"Tolong bersabar tuan!"

"Jangan berani menasehati aku. Ingat posisi dan siapa kamu"

"Ampuni saya, tuan"

"Saya?"

"Hamba, tuan. Ampuni hamba"

"Bagus, hahahahaha"

Pria yang lebih tinggi itu tertawa terbahak, karena dia sungguh puas saat mendengar kalimat bawahannya, setelah sebelumnya dia mengerutkan alis tanda dia tidak suka.

To Be Or Not To BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang