Sang Luna

42 8 0
                                    

Waktu masih menunjukkan pukul sembilan lebih empat puluh lima menit, ketika mereka sampai di Villa Arconati, di barat laut Milan.

"Ini tempatnya, bu?"

"Iya. Sebenarnya kalian ini sedang mencari apa?"

"Kami hanya mencari bahan untuk skripsi kami bu"

"Skripsi? Bukankah dunia sedang tidak baik-baik saja? Jadi untuk apa masih mengerjakan skripsi?"

"Benar, bu. Tapi tidak apa-apa. Saya yakin, pemerintah pasti bisa segera mengatasi masalah ini. Dan karena kami masih berada di sini. Kenapa tidak sekalian saja?"

"Oh. Baiklah"

"Ibu boleh menunggu di mobil atau ikut kami juga tidak apa-apa. Dalam empat jam kami kembali ke sini"

*****

Mereka segera masuk ke dalam villa yang ternyata begitu luas, hingga mereka memutuskan untuk kembali berpencar. Di mana wanita yang bersama mereka beserta putranya, lebih memilih menunggu di dalam mobil.

"Kita mulai dari mana, kak?"

"Terserah kalian. Kita ikuti naluri kita saja, seperti yang di katakan oleh dewi bulan. Ingat, waktu kita hanya empat jam"

Dengan segera mereka berpencar, di mana Hershel memilih menuju ke arah sayap timur villa itu. Perlahan dia berjalan tanpa ragu, hingga dia sampai pada sebuah aula besar yang tidak dia lihat satupun barang di sana, kecuali sebuah kalung emas yang tergeletak begitu saja di lantai.

Tanpa curiga dia mengambil kalung emas itu lalu di angkatnya sekedar untuk memastikan, kalung yang dia ambil benar kalung emas atau bukan. Namun berat kalung emas yang berada dalam genggaman eratnya, semakin lama ternyata menjadi semakin berat.

Membuatnya jatuh berlutut dengan kedua tangannya yang bergerak dengan sendirinya, tanpa bisa dia kendalikan. Meski dengan sekuat tenaga juga, dia berusaha untuk melawan pergerakan tangannya sendiri.

Hanya saja dia tetap tidak bisa melawan kekuatan yang entah berasal dari mana, kekuatan yang telah menggerakkan kedua tangannya. Hingga akhirnya kalung itu sudah bertengger, serta melekat erat di lehernya.

Yang mana dengan seketika, dia merasakan sakit yang luar biasa di kepalanya setelah kalung emas itu menjadi satu dengan kulit lehernya. Dia juga tidak menyadari, jika kini pupil matanya telah menguning dengan sebuah garis vertikal di tengahnya.

Di antara keterkejutan yang menyusup di lubuk hatinya, hingga dia hanya bisa membelalakkan mata tidak percaya, ketika merasakan sebuah sentuhan lembut yang tidak memiliki wujud atau juga bayangan pada pucuk kepalanya.

"Kau pasti mengerti, Hyuga"

*****

Di sisi lain, Shawn yang memilih melangkahkan kakinya menuju ke arah sayap barat. Dia menemukan sebuah ruangan, setelah melewati lorong panjang di ujung aula yang sama persis dengan aula yang di temukan oleh kakaknya, Hershel.

Setelah dia membuka pintu dan juga memasuki ruangan yang tidak terlalu luas itu, dia melihat sebuah kursi berukir antik di tengah-tengah ruangan tanpa adanya meja, yang biasanya menjadi pasangan dari sebuah kursi dan terletak tidak terlalu jauh dari kursi itu sendiri.

"Bagus sekali. Andai aku orang kaya, aku pasti akan membeli kursi semacam ini"

Dia meraba permukaan kursi yang terasa begitu halus, kemudian menduduki kursi itu. Dia sungguh ingin tahu, apakah kursi itu sama empuk dengan sofa yang berada di apartemen mereka.

Namun dia sangat terkejut ketika menyadari telapak tangannya menyentuh sebuah benda keras, namun memiliki permukaan yang sangat halus. Sementara dia yakin, jika tidak ada apapun di kursi itu ketika beberapa saat tadi dia meraba seluruh permukaannya.

To Be Or Not To BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang