The Duty

35 7 0
                                    

Dari arah kejauhan masing-masing sayap dari villa itu, terlihat lima orang pemuda yang saat ini tengah melangkahkan kaki perlahan, keluar melalui pintu utama Villa Arconati. Yang meski tidak sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka buat sendiri, mereka tetap harus keluar dari dalam villa itu.

"Kak Refan di mana?"

"Entah, mungkin sudah  di luar. Ternyata kita sudah lebih dari empat jam berada di dalam"

"Kalian merasakan hal aneh tidak waktu di dalam?"

"Nanti saja bicaranya, kalau sudah sama Refanka"

"Kak Refan. Tolong di ingat ya, Kak Vio"

Salvio yang saat itu telah merasa menjadi yang paling tua di antara ke limanya, dia mencoba menengahi obrolan adik-adiknya tanpa peduli pada lirikan mata Lyndon dan juga omelan adik bungsunya pada dirinya.

Karena bukan hanya adik-adiknya yang merasakan hal-hal aneh, tapi dirinya juga merasakan hal yang sama. Hingga muncul pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang baru saja terjadi, di otaknya yang memang selalu kritis.

"Hei, itu Kak Refan. Ngapain dia?"

Dia terkejut, ketika Khazani berteriak dengan keras tepat di sebelah telinganya. Membuat dia melihat ke arah kakaknya, yang tengah berlutut menundukkan kepala dalam-dalam ke arah matahari terbenam.

Yang tentu saja membuat dia keheranan dengan tingkah Refanka, di mana saat ini kakaknya itu tengah menangisi sesuatu yang tidak dia tahu sama sekali. Hingga membuat adiknya Lyndon, segera berlari mendekat ke arah Refanka dan berlutut di depan sang kakak tertua.

"Kak, kamu kenapa?"

Namun bukan jawaban yang di dapatkan oleh pemuda kekar itu, melainkan sebuah sentuhan kedua telapak tangan besar sang kakak di kedua sisi kepalanya. Hingga saat itu juga, dia ikut menangis di antara kilatan tajam matanya sendiri.

"Kau sudah ingat Linar?"

Pemuda itu tidak menjawab pertanyaan yang di ajukan oleh sang kakak, tapi malah membalikkan badan sama seperti posisi Refanka saat ini, lalu bersujud ke arah matahari terbenam dan menangis di sana. Membuat Salvio yang baru saja datang, menjadi semakin kebingungan dengan apa yang dia lihat di depan matanya.

"Kalian ini kenapa sih?"

"Kemarilah, Vio. Atau aku harus panggil kamu dengan nama Sheya?"

"Sheya? Darimana kau tahu nama itu?"

"Kemarilah. Kau pasti mengerti"

Meski masih dalam kebingungan, dia tetap mendekat ke arah kakaknya. Bukan hanya karena rasa penasaran yang begitu tinggi di dalam hati dan otaknya, tapi juga dia ingin segera menyelesaikan masalah yang tengah terjadi saat ini. Karena apapun akan dia lakukan, agar dunia secepatnya bisa kembali berada dalam kedamaian.

"Kak Jo?!"

Kalimat itu menjadi kalimat pertama yang dia ucapkan, setelah dia berlutut kemudian menerima tangan besar sang kakak pada kedua sisi kepalanya. Hingga beningpun tidak bisa lagi dia bendung, di kedua sudut matanya.

"Kak Jo, maafkan aku?!"

Dia menundukkan kepalanya, di depan pribadi yang lebih tua darinya. Bukan hanya karena rasa bersalah yang hinggap di hatinya, tapi juga dia tahu persis kedudukan sosok yang saat ini berada di depannya.

"Sheya. Angkat kepalamu"

Hingga yang tertua terpaksa mengangkat kepala sang adik yang saat ini tertunduk, kemudian merengkuh tubuh yang sedikit lebih pendek dari dirinya, ketika dia tidak juga melihat adiknya menegakkan kepala.

To Be Or Not To BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang