Ruangan terasa sunyi, hanya ada cahaya malam yang menerangi. Seorang pemuda terlihat mengendap-endap di pojok ruangan tersebut.
"Dari mana?"
Deg
Tubuh kecil itu tersentak, kepalanya menoleh kaku kearah tangga. Disana terdapat laki-laki yang sedang berdiri di anak tangga terakhir, dengan posisi tangan kanannya ia tekuk diatas pegangan tangga, sedangkan tangan kirinya ia masukkan ke dalam saku celana.
Tatapannya yang begitu tajam membuat pemuda tadi menelan ludahnya susah payah, bahkan kini tangannya terasa dingin dan sedikit bergetar. Menghidupkan salah satu lampu, laki-laki itu berjalan menghampiri pemuda di depannya.
Ibu jari dan telunjuknya bergerak memegang dagu pemuda yang lebih pendek darinya. Perlahan, sentuhan itu berubah menjadi cengkeraman yang membuat pemuda itu meringis.
"Saya tanya, kamu dari mana?" Tanyanya lagi.
"B-bang...."
"Kamu lihat itu-" ia menunjuk jam dinding, namun tatapannya tak lepas dari pemuda di depannya.
"Jam berapa?"
"Setengah dua belas," jawabnya pelan.
Laki-laki berusia 23 tahun yang memiliki nama Vijendra Shankara itu melepaskan cengkeramannya dari dagu sang adik, Raka Karunasankara yang saat ini berusia 18 tahun.
Jendra memasukkan kedua tangannya ke saku celana, matanya setia menatap Raka yang sedang melirik kesana-kemari menghindari tatapannya.
"Want a punishment, Raka?" Ujarnya rendah. Lengannya yang kokoh melingkari pinggang Raka dan menariknya mendekat, hingga dahi sang adik menabrak dada bidangnya.
"No!" Serunya berusaha mendorong badan Jendra menjauh. Namun, karena tenaga Jendra terlalu kuat, ia tak bisa melarikan diri.
"Tapi... Kamu ga bisa pergi dari sini, Sanka." Gawat! Jika Jendra sudah menggunakan nama tersebut untuk memanggilnya, itu berarti dia akan segera berada dalam bahaya.
Tanpa aba-aba, Jendra menggendong Raka seperti karung beras yang membuat pemuda lebih pendek darinya itu berteriak dan memukul punggungnya berulang kali.
"Bang Jendra turunin! Bang! Turunin bang!"
Plak
"Shut up, Sanka," desis Jendra setelah memukul paha belakang Raka.
"Uh, please jangan lagi," gumamnya sangat pelan. Didalam hatinya, Raka sudah mengabsen satu persatu nama binatang. Jantungnya berdegup kencang sekarang.
Cklek
Jendra membuka salah satu pintu bewarna hitam di area belakang rumah. Setelah mengunci pintu, lelaki itu menjatuhkan Raka di kasur yang ada.
Raka sudah bergerak mundur, Jendra yang melihat itupun tersenyum miring dan melipat lengan kemejanya hingga siku.
"Sendiri atau saya?"
Raka menggeleng keras, ia terus memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menempel pada senderan kasur. Jendra berjalan mendekati Raka, saat melihat Raka akan lari, dengan cepat ia mencekal pergelangan tangan Raka hingga pemuda itu terjatuh kembali ke kasur.
"Ga mau sendiri, ya? Okay." Jendra memaksa Raka untuk duduk dan merobek kaos pendek yang dikenakan Raka.
Jendra mengikat tali di kedua kaki dan memasang borgol di kedua tangan Raka.
Laki-laki tersebut mengambil sabuk yang ada di nakas, lalu menatap wajah Raka sekilas.
"Ready, baby?"
Raka menggeleng cepat, matanya sudah berlinang air mata sekarang.
"Hitung sampai lima belas," perintah Jendra. Belum sempat menjawab, ia sudah lebih dulu dicambuk.
Ctas
"Akhh!"
"Hitung!" Ulang Jendra.
"Shh... Satu."
Ctas
"Ughh... Dua."
Ctas
"Umhh... Tiga."
Begitu seterusnya hingga hitungan ke lima belas. Raka sudah lemas dengan luka bewarna merah dipunggung, ia merebahkan tubuhnya dengan posisi tengkurap. Ia sudah meneteskan air mata sejak hitungan ke sepuluh, punggungnya sakit sekarang.
Jendra tersenyum puas melihatnya. "Ingin lagi?" Tanyanya.
Raka diam tak menjawab, ia menggigit bibirnya menahan Isak tangis.
Jendra berjongkok didepan wajah Raka. Tangannya beralih mengangkat dagu Raka, memaksa kedua mata itu agar menatapnya.
"Jawab saya!"
"Engga, akhh." Raka menahan nyeri dipunggung nya.
"Then, be a good boy, Sanka." Jendra melepas borgol dan tali dari Raka. Ia mengangkat Raka untuk duduk di kasur. Raka hanya mampu mengangguk.
"Tahan sebentar." Jendra mengambil kotak P3K di laci nakas, bahkan ia tampak tak merasa bersalah setelah beberapa menit yang lalu membuat adiknya berteriak kesakitan.
"Akhh! Sakit," ringis Raka saat Jendra mengoleskan obat ke punggungnya.
"Pelan-pelan, shh." Raka mencengkeram erat lengan Jendra untuk melampiaskan rasa sakitnya.
"Jangan kamu ulangi. Kalau tidak, kamu akan merasakan seperti ini lagi," tutur Jendra yang lebih terdengar seperti ancaman.
"Iya," jawab Raka. Ia mendongakkan kepalanya sebentar lalu menengkurapkan badannya ke kasur ketika Jendra sudah selesai mengobatinya.
Matanya kian memberat, di sisa-sisa kesadarannya ia dapat merasakan benda kenyal dan hangat menempel beberapa detik di dahinya. Setelahnya, ia benar-benar tertidur lelap.
Jendra terkekeh kecil melihat wajah manis Raka yang sudah tertidur itu. Bulu mata lentik, bibir merah alami yang sedikit terbuka, pipi chubby, dan dada bidangnya yang kembang kempis saat bernapas. Sungguh menggemaskan.
Laki-laki tersebut lantas menggendong ala bridal style pemuda manis itu, ia membawanya ke kamar dan menyelimuti seluruh tubuh Raka hingga memperlihatkan kepalanya saja.
.
.
.
Thank you yang udah baca. Jangan lupa vote and komen!
Tandai kalau ada typo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal; Shanka [END]
General Fiction[BROMANCE AND BROTHERSHIP AREA] Bagaimana jika seseorang yang menyukai kebebasan harus hidup berdampingan dengan manusia yang sangat posesif? apakah ia harus menuruti perintah untuk keselamatannya, ataukah tetap berusaha mencari celah untuk bebas? M...