"Woi bayar kas ga lo!?" Sentak seorang pemuda manis kepada salah satu temannya.
"Hehe, untuk Raka Karunasankara, sebelumnya saya memohon maaf, hari ini saya ga bawa uang," jawab lelaki yang duduk di bangku.
Raka menggebrak meja. "Pacaran elit, bayar kas sulit!" Cibirnya membuat murid di kelas berteriak heboh.
"Loh, itu-"
"Apa!? Mau ngelak pake alesan apa lagi lo!? Minggu kemarin bilangnya ga ada duit, pulang-pulang bikin story di IG, caption-nya 'senja cafe'. Maksud lo apaan?"
"Gue ada buktinya, mau gue liatin sekalian? Asal ko tau ya, Daffa Edison. Kas lo tuh udah nunggak banyak, anjir! Sebulan!"
Pemuda bernama Daffa itu langsung kicep saat mendengar ujaran Raka.
Oke, inilah alasan seorang Raka dijuluki 'singa' oleh teman-temannya. Karena, ia adalah seorang bendahara yang sangat-sangat ramah. Saking ramahnya, dirinya tak tanggung-tanggung saat menagihnya. Contohnya ia akan memberi kata-kata pedas seperti tadi.
Raka baru menyadari bahwa ada seorang siswi yang duduk disebelah Daffa. Ia tersenyum dan menatapnya penuh arti.
"Kiw cewe, pacar lo nunggak kas sebulan tuh," katanya.
Siswi tersebut seperti paham apa yang di maksud Raka. "Berapa?" Tanyanya jutek.
Raka menunjukkan jari telunjuk dan tengahnya. Siswi itu dengan setengah hati memberikan uang kertas sebesar 20 ribu.
Pemuda manis itu tersenyum puas, ia melanjutkan kegiatannya. Mengabaikan Daffa yang sudah terkena omelan dari pacarnya.
"Minimal kalo ga sanggup bayar kas ga usah pamer shoping sana-sini!" Sindirnya, membuat beberapa siswi yang tidak membayar kas merasa tertohok.
"Nambah beban sekolah aja," imbuh Ferro yang sudah terbahak ditempat duduknya.
"Ngaca dong! Lo juga biasanya pacaran!" Seru Daffa tak terima.
"Dih, tapi kan gue tetep bayar kas. Ga kaya lo, suka traktir cewe tapi ga bayar kas."
Raka yang sudah berada di sebelah Ferro langsung menggeplak kepala sahabatnya dengan buku kas.
"Lo Minggu kemarin belum bayar kas."
Daffa langsung berdiri, saat akan berujar, sudah lebih dulu di sela oleh Ferro.
"Gue ga bayar gara-gara Minggu kemarin ga masuk, ya! Nih," ucapnya saat mengetahui Daffa akan membalas. Ia memberikan uang 10 ribu kepada Raka.
Zen terkekeh geli melihat perdebatan teman-temannya.
Saat akan kembali ke kursinya, seorang pemuda mendobrak pintu kelas.
"Woi Raka santan! Dicari pak es krim, tuh!"
"Gue? kenapa?"
"Ga tau, dia cuman bilang suruh ngasih tau lo, suruh ke ruang guru sekarang. Ada yang mau di bahas katanya."
Raka mengangguk sekilas lalu berjalan cepat ke ruang guru setelah mengucapkan terima kasih.
.
.
.
Bagaskara yang gata digantikan oleh indurasmi. Rintik hujan yang membasahi bumi, menemaninya ketika sedang sendiri.
Raka saat ini berdiri di balkon kamarnya, menumpukan kedua tangannya pada pembatas balkon.
Seharian ini ia menjaga jarak dengan Jendra, pemuda itu masih takut dengannya walaupun ia sudah meminta maaf kemarin.
Raganya memang diam, namun pikiran pemuda itu sudah berkelana memikirkan obrolannya saat di sekolah.
"Permisi Pak Vino."
"Oh iya, duduk aja. Gini Ka, dua minggu lagi ada olimpiade IPS. Saya lihat-lihat kemampuan kamu bagus di bidang itu. Jadi, kalau saya mengajukan kamu ikut olimpiade itu, kamu mau tidak?"
Raka mengulum bibirnya kedalam. Ia berpikir sebentar sebelum menjawab pertanyaan tersebut.
"Gini aja, saya kasih kamu waktu untuk berpikir. Nanti kalau sudah dapat jawabannya, kamu bisa bilang ke saya."
Raka tersenyum tipis, ia mengetuk besi untuk pembatas balkon tersebut, sehingga tak menyadari bahwa ada seseorang yang berjalan menuju ke arahnya.
Grep
"Sedang apa, hm?" Suara berat itu mengejutkan dirinya dan membuat jantungnya berdebar.
Manusia itu merengkuh pinggang Raka dari belakang, bahkan menyenderkan kepalanya di ceruk leher Raka.
Pemuda manis itu menoleh. Matanya membulat ketika melihat Jendra yang memejamkan mata, dengan tangan yang masih melingkar manis di pinggangnya.
"Engga," jawabnya. Ia bergerak agar pelukan itu terlepas, namun dengan santainya Jendra mengeratkan pelukannya.
Napas hangat Jendra menyentuh leher kiri Raka, hingga membuatnya geli.
"Em, bang?" Panggilnya yang dibalas deheman oleh pemuda yang lebih tua darinya.
Ia menautkan kedua tangannya, lalu menghela napas kecil. "Aku... Tadi di suruh ikut olimpiade IPS-"
Jendra mengangkat kedua alisnya saat Raka membalikkan badan kearahnya, lalu menatap matanya.
"-aku boleh ikut?" Tanyanya.
Melihat Jendra yang diam sambil menatapnya, ia membuang pandangannya ke segala arah.
Jendra menyeringai lebar, pemuda itu mengecup hidung kecil Raka dan meraih dagu itu agar Raka menatapnya.
"Kapan? Dimana?"
"Dua minggu lagi, di sekolah."
Lelaki itu mengangguk paham, ia membalikkan tubuh Raka agar membelakanginya. Kedua tangan kekarnya ia letakkan di samping kanan dan kiri badan pemuda manis tersebut. Jendra mengukung tubuh mungil Raka dari belakang.
"Saya akan mendapat apa jika memberi kamu izin?"
Nah kan, sesuai prediksi. Pasti gini, kasih apaan yak? Dia kan udah kaya, batinnya.
"Eum, seblak? Ayam geprek?"
"Raka! Kamu memakan makanan seperti itu!?"
Aduh, salah ngomong gue.
"E-engga kok! Cuma asal sebut aja, aku di kantin beli siomay, salad, sama bubur ayam. Hehe iya, bubur ayam." Raka kelabakan sendiri.
Ia tak sepenuhnya berbohong memang. Karena pemuda itu terkadang membeli bubur ayam di kantin.
Hal yang jarang ditemui, jika sedang malas mengunyah, ia akan membeli bubur ayam, namun tak menggunakan ayam, kacang, atau bahan lainnya yang harus dikunyah. Ia hanya membeli bubur dengan kuahnya saja.
"Jadi... Boleh ga?" Raka menatap Jendra dan mengedipkan matanya beberapa kali agar pemuda itu luluh.
Benar saja, Jendra seketika langsung membuang pandangannya ke arah lain. Pemuda itu meraup wajah mulus Raka.
"Hm." Hanya itu yang keluar dari bibirnya. Karena setelah menjawab, Jendra langsung melepas rengkuhannya dan berlalu pergi.
Raka tersenyum lebar, ia mengepalkan tangannya ke atas, lalu bersorak gembira.
.
.
.
Hi! Update lagi... Siapa yang bendahara dikelasnya kaya Raka?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal; Shanka [END]
General Fiction[BROMANCE AND BROTHERSHIP AREA] Bagaimana jika seseorang yang menyukai kebebasan harus hidup berdampingan dengan manusia yang sangat posesif? apakah ia harus menuruti perintah untuk keselamatannya, ataukah tetap berusaha mencari celah untuk bebas? M...