Linglung. Raka mengendarai motornya tak tentu arah. Ia butuh tempat untuk menjernihkan pikirannya.
"Sialan! Kenapa nangis sih!" Umpatnya pada diri sendiri.
"Harusnya lo ga percaya gitu aja, bego banget!"
Pemuda itu berhenti pada sebuah bangunan kosong yang ada di dekat sungai.
Memasukkan motor itu ke dalam, ia berjalan pelan menyusuri bangunan itu.
Raka menaiki tangga hingga sampai ke rooftop.
Ia melangkahkan kakinya menuju tepi rooftop dan duduk di sana dengan kedua tangan sebagai tumpuan dibelakang. Ia mengayunkan kakinya, kepalanya mendongak ke atas.
Langit malam dengan bintang-bintang menemaninya saat ini. Tak terasa air matanya kembali turun, ia menghapusnya dengan cepat.
Sibuk melihat kendaraan yang berlalu-lalang, ia tak menyadari seseorang berdiri di belakangnya.
Bugh
Merasa ada tepukan di bahunya, Raka memukul orang itu menggunakan sikunya. Ia menoleh ke belakang, dan menemukan salah satu sahabatnya sedang berjongkok memegang perutnya.
"Zen!?"
"Sakit cok!"
"Sorry. Lagian lo ngapain di sini?"
"Harusnya gue yang tanya, ngapain lo di sini sendirian. Bukannya tadi udah dirumah? Mau nemenin mbak Kun, lo?"
"Heh! Sembarangan. Gue...." Raka bingung akan menjawab apa.
Zen tersenyum teduh. Ia ikut duduk di sebelah Raka, lalu mengangkat tubuh ramping itu hingga duduk di atas pahanya.
Raka yang terkejut karena dipangku dengan tiba-tiba langsung memegang bahu Zen.
"Gue tau, lo pasti kecewa, kan? Gue dengernya kaget. Apalagi lo."
Pemuda itu mengelus lembut kepala Raka, lalu meletakkan dagunya di bahu Raka.
"Nangis aja, gapapa." Akhirnya Raka paham kemana arah pembicaraan Zen.
Ia yang sedari tadi memang menahan, akhirnya mengeluarkan air mata. Raka terisak hebat, sedangkan Zen hanya diam sembari mengelus punggungnya.
Punggung kecil itu bergetar, ia berusaha menghentikan tangisannya. "Gue bodoh, ya?"
"Engga. Kenapa lo bilang gitu?"
"Harusnya gue ga cepet percaya sama dia. Gue gapapa kalo dipukul, ditampar, di cambuk kaya biasanya. Gapapa kalo dia formal ke gue yang bikin gue sama dia lebih kaya partner kerja."
"Tapi, baru kali ini gue denger dia bilang kaya gitu. Lo tau? Rasanya..., lebih sakit daripada pukulan dari dia," lanjut Raka yang menatap kosong langit gelap itu.
"It's okay. Lo masih punya gue, Ferro, Bang Dimas, sama ayah bunda. Kita udah anggep lo keluarga. Jangan ngerasa sendiri, gue bakal jaga lo terus." Zen merengkuh pinggang ramping Raka dan mengecup pucuk kepala pemuda itu beberapa kali.
"Makasih, and... Sorry."
"Untuk?"
"Dari kecil gue udah ngerepotin kalian. Gue-"
"Sst!" Zen menempelkan jari telunjuknya di bibir Raka.
"No! Lo ga pernah ngerepotin gue, ataupun keluarga gue. Inget itu!"
"O-okay," jawab Raka sedikit terbata. Ia menghindari tatapan tajam yang diberikan oleh Zen.
"Ayo pulang," ajak Zen setelah mengecek jam tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal; Shanka [END]
General Fiction[BROMANCE AND BROTHERSHIP AREA] Bagaimana jika seseorang yang menyukai kebebasan harus hidup berdampingan dengan manusia yang sangat posesif? apakah ia harus menuruti perintah untuk keselamatannya, ataukah tetap berusaha mencari celah untuk bebas? M...