Bunga kamboja berjatuhan dari pohonnya, sepi dan sunyi. Di tempat itu hanya ada dua pemuda yang menatap gundukan tanah bertabur bunga.
Keduanya sama-sama diam, merapalkan doa sambil memejamkan mata.
Ada dua nisan yang ia elus. Nisan di sebelah kanannya terdapat sebuah nama, Lea Diandra. Sedangkan disebelah kirinya terdapat nisan dengan nama Theo Anggara.
"Bunda... Aku kangen," lirihnya.
Ia meneteskan air mata mengingat senyuman lembut sang bunda yang diberikan untuknya terakhir kali.
"Ayah... M-maaf aku belum bisa bikin bangga ayah," isaknya. Sang kakak yang melihat itupun merangkul bahu adiknya dan mengucapkan kata-kata penenang.
"Udah ya, kita pulang. Mau hujan," ajaknya. Ia menunjuk langit yang sudah mendung.
Sang adik mengangguk setuju, ia menghapus kasar air matanya dan berdiri, diikuti yang lebih tua.
"Bang Endra, kita langsung pulang?" Tanya nya.
Jendra mengangguk. "Kenapa? Kamu mau ke suatu tempat?"
Pemuda yang diajak bicara bergumam pelan. "Kemana?"
"Timezone," jawabnya.
"Apakah itu penting, Raka?"
Raka diam. Tak menjawab apa-apa, ia bingung akan menjawab apa.
"Tidur saja, nanti saya bangunkan." Raka memejamkan matanya, dan beberapa menit kemudian ia sudah tertidur pulas.
Jendra menoleh sekilas kearah Raka dan terkekeh pelan saat melihat pipi gembul pemuda itu tergencet seatbelt, karena ia bersandar di jendela.
"Cute baby."
.
.
.
"Bangun, Raka." Jendra mengelus pelan pipi chubby Raka. Ia sedikit menekannya membuat pemuda manis itu terusik.
"Eunghh, udah sampe?" Ujarnya serak. Ia menguap dan mengucek matanya. Jendra segera menahan tangan kecil itu.
"Jangan," larangnya. Ia mengelus pelan bagian bawah mata Raka.
Setelah beberapa saat, Jendra keluar dari mobil dan membuka pintu di sebelah Raka.
"Ayo," ajaknya mengulurkan tangan.
Raka menoleh, matanya membulat saat melihat bangunan besar dibelakang kakaknya.
"Ayo," ulang Jendra. Raka segera melepas seatbelt nya dan menyambut uluran tersebut. Keduanya memasuki bangunan yang disebut 'mall' itu dan menuju Timezone.
"Saya tidak punya kartu tempat ini. Sebentar," ujar Jendra. Ia membeli dan mengisi saldo kartunya.
Sembari menunggu, Raka berjalan-jalan untuk memilih permainan apa yang akan ia mainkan lebih dahulu.
Bugh
Raka reflek meninju seseorang yang dengan seenak jidatnya melingkarkan tangan di pinggangnya.
"Raka," desis Jendra pelan. Ia memegangi perutnya yang terkena serangan mendadak dari Raka.
Raka menoleh kaget dan membelalak. "Bang Endra!? Sorry, aku kira siapa."
Jendra mengangguk pelan. "Pukulan mu kuat juga." Raka menggaruk tengkuknya yang tak gatal.
"Ini." Jendra menyodorkan sebuah kartu yang langsung diambil oleh Raka.
Pemuda kecil tersebut melangkahkan kakinya menuju sebuah mesin capit. Dalam sekali coba, ia berhasil mendapatkan sebuah boneka beruang bewarna cokelat dengan baju bewarna putih.
"Keren juga gue," gumamnya membanggakan diri.
Jendra terkekeh kecil saat mendengar gumaman itu. "Bang! Liat, aku dapet!" Girang Raka. Jendra mengangguk pelan dan mengusak rambut Raka.
Tak terasa sudah tiga jam mereka berada di sini. Jendra berinisiatif untuk mengajak adiknya pulang.
Namun, sebelum ia menghampiri Raka, ternyata pemuda itu sudah lebih dulu berjalan hingga sampai di hadapannya dengan tangan kanan memeluk boneka, dan tangan kiri memegang tiga susu kotak, hasil tiket yang ia tukar.
"Ayo pulang," ajaknya. Jendra mengambil tiga susu kotak itu dan menggandeng tangan Raka yang kosong.
Selama di perjalanan, terdengar suara musik yang di setel Raka. Sesekali Jendra ikut mengangguk-anggukkan kepalanya pelan dan mengetuk stir mobil dengan jari telunjuknya.
Di lampu merah, Raka melihat keluar. Menatap anak kecil yang sedang menjual tisu. Kebetulan, dirumah tisu sedang habis. Jadi ia memanggil bocah itu.
"Dek!" Anak itu menoleh dan berdiri di samping mobil.
"Mau beli tisu yang itu tiga," tunjuk Raka pada sebuah tisu yang berukuran besar.
"Ini kak, jadinya dua puluh delapan ribu lima ratus," ucap anak kecil itu memberikan plastik berisi tisu yang dimaksud Raka.
Raka memberikan uang lima puluh ribu. "Ini ya, kembaliannya ambil aja. Makasih," ujarnya.
"Tapi kak, ini kebanyakan."
"Udah, gapapa ambil aja. Semangat ya jualannya!" Raka mengangkat kepalan tangannya sedikit ke atas sambil tersenyum manis, membuat anak penjual tisu tadi ikut tersenyum.
"Makasih banyak kak!" Anak itu berucap tulus. Raka mengangguk dan kembali tersenyum.
Anak tersebut kembali ke pinggir jalan saat lampu akan berubah berwarna hijau. Jendra melajukan mobilnya, Raka sempat melambaikan tangan kepada penjual tisu tadi.
.
.
.
Raka sudah berada di kamar. Merebahkan tubuhnya sembari memeluk boneka beruang yang ia dapat tadi. Ia memberinya nama 'Choco'.
Karena haus, ia memutuskan untuk ke dapur dan membuat minuman matcha.
Saat memasukkan bubuk matcha instan, ia tersentak saat merasakan sebuah tangan melingkar di pinggangnya.
Menoleh ke belakang, ia melihat Jendra yang memeluk dan menatapnya dengan tatapan datar.
"Lepas dulu bang, aku mau ngisi air," ujarnya. Ia menepuk pelan punggung tangan Jendra.
"Hm," dehem Jendra, lelaki itu mengecup pipi Raka sekilas sebelum melepas pelukannya.
Raka sudah tidak terkejut, sudah beberapa kali Jendra mengecup pipinya dalam beberapa bulan ini.
Pemuda manis yang membawa gelas itu mengisi gelasnya dengan air panas, setelah minumannya jadi, ia menduduki salah satu kursi makan.
Namun, belum sampai ia duduk, tubuhnya sudah lebih dulu di angkat oleh Jendra, lelaki itu duduk dan meletakkan Raka di pahanya.
Raka tampak tak terganggu, ia fokus meminum minumannya dengan tenang.
Tepat di tegukan terakhir, mereka mendengar suara pintu yang diketuk dari luar.
Keduanya segera menghampiri pintu, dan Raka membukanya perlahan. Matanya membulat terkejut, hingga mulutnya sedikit terbuka melihat seseorang didepannya.
"Hi, kitten, long time no see."
.
.
.
Hii aku kembaliii. Sorry udah beberapa Minggu ngilang, soalnya hp ku rusak, dan sebenernya beberapa hari yang lalu aku buat aku baru dan update ulang disana, tapi karena aku udah inget sama akunku yang ini, aku lanjut update disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal; Shanka [END]
Fiksi Umum[BROMANCE AND BROTHERSHIP AREA] Bagaimana jika seseorang yang menyukai kebebasan harus hidup berdampingan dengan manusia yang sangat posesif? apakah ia harus menuruti perintah untuk keselamatannya, ataukah tetap berusaha mencari celah untuk bebas? M...