13. Mulai bertindak

6.4K 488 10
                                    

Hari ini Raka datang ke sekolah lebih awal, ia lupa mengerjakan salah satu tugasnya.

Ketika duduk di bangku, ia melihat sebuah batu yang dibungkus dengan kertas. Pemuda itu mengernyitkan keningnya, lalu mengambil kertas tersebut.

"Ini apaan dah," gumamnya.

Setelah berpikir beberapa detik, Raka membuka kertas tersebut. Betapa terkejutnya dia saat melihat tulisan di kertas itu.

'MATI'

Itu adalah tulisan bewarna merah yang ada di kertas, ia mendekatkan hidungnya, seketika Raka mencium bau anyir seperti darah.

"Buset, gabut bener yang bikin."

Saat ia akan berdiri untuk membuangnya, seorang pemuda datang merebut kertas itu dan membacanya.

Rahangnya mengeras, tatapannya sangat tajam, bahkan tangannya terkepal kuat hingga menampilkan uratnya yang menonjol.

"Siapa?" Tanyanya dingin.

"Zen!?" Beo Raka terkejut.

"Gue bilang punya siapa, hm?" Zen menekan bahu Raka. Spontan pemuda manis itu meringis karena luka yang ada di bahunya.

Zen sepertinya peka, karena lelaki itu langsung membuka paksa kancing baju teratas milik Raka dan menggeser baju bagian atasnya sehingga menampilkan bahu putih mulus Raka yang sudah terdapat goresan luka.

Pemuda tersebut memejamkan matanya untuk menahan emosi yang semakin meningkat. Ia mengelus pelan luka itu, tatapannya yang tajam tergantikan oleh tatapan teduh.

"Berdiri." Raka langsung menurutinya.

Zen duduk di bangku, lalu menarik pelan lengan Raka, membuatnya terjatuh di paha Zen dengan posisi membelakangi. Sehingga Raka tak bisa melihat wajah sahabatnya.

Tangannya menjulur ke depan, lalu bergerak mengancingkan baju Raka dari belakang.

Setelahnya, Zen meletakkan kedua tangannya di perut Raka. Kepalanya ia taruh di bahu pemuda manis itu, menghadap langsung ke lehernya.

"Lo baru aja berangkat?"

"Engga, udah dari tadi. Sebelum lo berangkat. Itu tas gue dah di kursi. Tapi abis itu gue sarapan keluar."

"Waktu lo sampe, udah ada itu belum?" Raka menunjuk kertas dan batu yang belum dibuang.

Zen menggeleng di ceruk leher Raka. Ia memejamkan mata, sembari berpikir dan menerka-nerka. Siapa yang berani mengirimkan hal seperti itu pada kesayangannya ini?

"Wassap ma pren!" Teriakan seseorang membuat mereka kaget dan menoleh.

"Ferro bego," jawab Raka.

Pemuda itu melempar sebuah buku tulis kearah Ferro.

Lelaki yang masih memangku Raka masih betah meletakkan kepalanya di tempat tadi. Bahkan, ia tak terusik sedikitpun.

"Buset, brutal bener." Ferro mengambil buku itu dan membukanya.

"Tugas lo belum?"

Mata Raka langsung membola. Ia berdiri dan merebut buku itu, lalu kembali duduk di pangkuan Zen.

Zen tak marah, ia malah kembali melingkarkan tangannya di pinggang Raka. Sedangkan pemuda itu mengerjakan tugasnya hingga selesai.

.

.

.

Seorang pemuda berada di sebuah kamar mandi sendirian. Ia kedua tangannya mencengkram kuat wastafel di depannya.

"Mungkin sekarang lo masih bisa tenang dan ketawa-ketawa kaya biasanya. Tapi itu baru permulaan, Raka," gumamnya rendah. Matanya menatap tajam pantulan tubuhnya sendiri.

"Tunggu aja, banyak hadiah manis buat lo." Setelah mengatakan itu, ia segera pergi dari kamar mandi.

Sedangkan di sisi lain, Raka sedang berada di bawah pohon mangga yang ada di bagian belakang sekolah nya untuk menunggu sahabatnya.

Ia meluruskan kakinya dan menyenderkan punggungnya di pohon.

Raka mengantuk, akhirnya ia memutuskan untuk memejamkan matanya sejenak.

Seseorang mengelus rambutnya, membuat dirinya membuka mata kembali. Ia sedikit mendongak, untuk melihat siapa yang ada di depannya.

"Tidur aja," ujarnya. Ia duduk di sebelah Raka, lalu mengangkat tubuh pemuda kesayangannya ini. Lelaki tersebut memangku Raka dengan posisi pemuda itu menghadap ke arahnya.

"Eunghh... Zen," lirihnya pelan. Raka melingkarkan tangannya di leher Zen, lalu menduselkan wajah manisnya ke dada bidang lelaki itu.

"Sweet dreams." Suara serak dan berat itu mengalun di telinganya, sebuah bibir yang terasa hangat menempel beberapa detik di dahinya yang membuatnya sedikit menggeliat. Setelahnya, ia melanjutkan tidurnya dengan nyenyak.

Raka terlihat menggemaskan dengan pipi yang tergencet dada bidang Zen, bibir sedikit terbuka yang sesekali mengerucut.

"Woi Zen!" Lelaki itu menoleh dan menatap tajam sepupunya.

Ferro meringis kecil melihat Raka yang tidur di pangkuan Zen.

"Kalian dari tadi di sini? Gue cariin padahal."

"Tadi habis ke kamar mandi yang agak belakang, pas sampe kelas dia ga ada. Gue cariin, ternyata nih bayi udah hampir ketiduran di sini sendiri."

Ferro manggut-manggut saja, ia membuka sebotol soda dan meneguknya.

"Lo... Tadi liat kertas yang ada batu nya di meja Raka?"

Zen mengangguk setelah merampas botol soda itu, dan meminumnya hingga tersisa setengah.

"Kira-kira siapa ya? Gue khawatir," ucap Ferro menatap langit.

"Udah, ga usah dipikirin. Yang penting dia aman. Raka juga biasa-biasa aja," jawab Zen.

Ferro menatap sepupunya tak suka. "Tapi kalo yang ngirim bertindak lebih gimana!? Lo ga kasian sama Raka nanti?" Sentak nya dengan pelan membuat Zen langsung menatapnya.

"Terus lo mau ngapain? Nyari pelakunya sampe dapet? Kita ga tau karna ga ada petunjuk apa-apa. Kita juga ga tau itu orang iseng doang apa emang ada yang sengaja ngirim kaya gitu." Zen menjawab dengan nada datar, tersirat menahan emosi.

"Jangan langsung menyimpulkan kaya gitu. Lo terlalu berpikir pendek," imbuhnya.

Ferro menghela napasnya lelah. Zen terkadang sangat keras kepala yang membuatnya susah diajak bicara.

Saat ia akan membalas, suara lenguhan dari pemuda manis yang sedang tertidur mengalihkan perhatian keduanya.

"Kenapa?" Ferro mengelus punggung Raka dengan pelan.

"Udah ga ngantuk," lirihnya. Namun kedua matanya masih menyipit.

Keduanya terkekeh pelan melihatnya. Sungguh, mereka ingin menggigit pipi berisi yang terlihat sedikit menggembung karena Raka mempoutkan bibirnya.

"Ya udah, ayo bangun. Lo belum makan," ajak Ferro mengulurkan tangannya yang langsung disambut oleh Raka.

Ketiganya menuju kantin, selama perjalanan dihiasi oleh tawa Raka yang menggelegar.

Ya, mungkin saat ini mereka masih bisa tertawa lepas. Tak tahu beberapa waktu kedepannya, apakah ketiganya masih bisa seperti itu.

.

.

.

Bayiku dapet teror, semoga ga jadi ubi ya, bye!

Eternal; Shanka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang