21. Perlahan

3.4K 321 21
                                    

Tepat satu Minggu, Raka sudah melewati masa kritisnya. Ia dipindahkan ke ruang rawat inap, walaupun sampai sekarang belum tersadar.

Tiap hari, Jendra dan Zen serta Ferro mengunjungi pemuda itu. Kedua pemuda itu menyempatkan diri kesini sepulang sekolah untuk menjenguk sahabatnya.

Seperti sekarang contohnya. Zen sedang duduk di kursi yang berada di sebelah ranjang rumah sakit sejak 1 jam yang lalu.

"Raka, lo ga cape tidur terus, hm?"

"Udah seminggu loh. Lo lagi ngapain sih disana kok sampe betah banget?"

"Ya udah, gapapa kalo lo belum mau bangun sekarang. Tapi, lo janji ya harus bangun? Lebih baik gue nunggu lama, daripada engga sama sekali," curhatnya. Ia mendongakkan kepalanya, matanya memburam karena air mata.

Zen mengusap wajahnya untuk menghapus air mata yang akan terjatuh.

"Kalo gitu, gue pamit dulu ya? Takut dimarahin mama, belum pulang dari tadi."

Sebelum pergi, Zen mengecup lama kening Raka yang terasa dingin itu. Ketika ia akan membalikkan badannya, matanya melihat jari tangan Raka bergerak.

Ia melebarkan matanya, lalu memencet tombol yang ada di sebelah ranjang.

Beberapa menit kemudian seorang dokter dan beberapa perawat datang.

"Dok, saya liat jarinya gerak!"

"Baik, bisa adek keluar dulu? Saya akan memastikan keadaan pasien dulu."

Tanpa perintah dua kali, pemuda itu langsung keluar. Ia segera menelpon Jendra yang sedang berada di kantin rumah sakit untuk memberitahu kabar ini.

"Bang! Baru aja jari Raka gerak, sekarang baru di tangani sama dokter!"

Tak ada 5 menit, Jendra sudah berdiri di sebelah Zen. Kedua lelaki itu tampak cemas menunggu dokter keluar.

"Gimana tadi?"

"Tadi itu waktu gue mau pulang, tiba-tiba jarinya gerak. Ya udah gue langsung manggil dokter, terus langsung ditangani," terangnya.

Cklek

"Gimana dok?" Tanya keduanya bersamaan.

"Syukurlah, Raka sudah sadar. Saat ini, tolong jangan ditanya-tanya dulu tentang kejadian yang menimpanya. Karena, Raka masih shock, kalau langsung ditanya, takutnya bahaya untuk mentalnya." Penjelasan itu membuat mereka berdua mengangguk.

Setelah dokter tersebut pergi, Jendra menoleh pada Zen. Pemuda itu paham, ia menggeleng seakan menjawab pertanyaan Jendra.

"Gue pulang aja bang, takut dimarahin mama, dari tadi belum pulang."

Lelaki itu mengangguk mengerti, ia menggumamkan terima kasih dan memasuki ruangan itu.

.

.

.

"B-bang Jendra...." Lirihnya tercekat.

"Sst, gapapa," ucap Jendra pada Raka yang nampak memprihatinkan. Pemuda itu menatapnya dengan air mata yang mengalir.

"Takut... Tangan kiri ku ga bisa gerak... Hiks," adunya.

"Sudah, itu cuma sementara, nanti bisa gerak lagi. Tidak usah takut, ada saya."

Jendra mengelus kepala Raka, dan menggenggam tangan kanannya.

Raka masih terisak, ia menatap langit-langit kamar. Kenapa dirinya sangat sial? Sangat menyebalkan.

"Aku ga tau yang nabrak siapa, tapi dia tiba-tiba nabrak aku dari samping, hiks... Padahal sebelumnya ga ada mobil atau motor," jelasnya tanpa disuruh.

"Jangan diingat, kalau buat kamu sakit."

Jendra terus mengelus kepala Raka, sesekali ia mengecup kening pemuda itu.

"Warna putih, platnya... Ada huruf z dibelakang."

Lelaki itu mengangguk, ia tentu sudah tahu, karena dirinya langsung mencari tahu kejadian sebenarnya lewat cctv yang ada di sebuah cafe milik Dimas.

Walaupun ia belum tahu siapa pelakunya, setidaknya ia tahu bagaimana kejadiannya.

Memang, Dimas memiliki cafe yang terletak sangat dekat dari daerah yang menjadi tempat kecelakaan itu.

"Motor aku?"

"Sudah saya urus. Sekarang fokus sama kesehatan kamu dulu," ujar Jendra.

Raka mengangguk pelan. Tubuhnya terasa sangat sakit, apalagi di bagian tangan kirinya.

"Zen sama Ferro ga kesini?"

"Zen sudah pulang. Dia yang tahu kamu sadar, dan menelpon saya," jawab Jendra.

Pemuda tersebut membulatkan mulutnya membentuk lingkaran kecil.

Ia melirik nakas disebelahnya singkat, Jendra yang melihat itupun mengambil sebuah botol berisi air minum yang diberi sedotan.

Jendra membukanya, dan meletakkan sedotan itu di bibir Raka. Pemuda itu langsung menyedotnya dengan cepat, rasanya sangat haus dan tenggorokannya terasa kering.

"Makasih."

"Raka," panggilnya.

"Hm?"

"Happy birthday. Maaf, saya tahu ini sangat terlambat, tapi-"

Raka tertawa lirih, tubuhnya terasa sakit saat ia tertawa.

"Gapapa. Makasih, abang inget aja, aku udah seneng kok."

Lelaki itu tersenyum tipis, ia menatap lamat pemuda manis itu.

"Belajar jangan formal banget ke Raka, Jen. Kalo lo ga mau ngilangin formal lo ke dia, setidaknya kurangin dah! Kalian udah kek rekan kerja anjir!"

Ucapan Dimas terngiang di kepalanya. Haruskah?

"Ekhem. Dek?" Panggilnya pelan.

Raka langsung menoleh dan melebarkan matanya.

Ini gue salah denger apa gimana? Kayaknya salah denger deh. Bang Jendra manggil gue kaya gitu kan terakhir pas ayah bunda masih ada, batinnya berpikir.

Jendra tersenyum maklum melihatnya. Ia mengayunkan tangannya di depan wajah Raka yang membuat pemuda itu tersadar.

"I-iya?"

"Kamu merasa tidak nyaman ketika saya berbicara seperti ini?"

Buset, ketempelan apaan nih!

"Saya tidak bercanda. Kalau kamu tidak nyaman, saya akan merubahnya perlahan," ujar lelaki itu.

"Em, sebenernya sedikit. Tapi... Kalo abang nyamannya kaya gitu gapapa kok. Lagian udah terbiasa juga," jawab Raka jujur.

"Saya bakal coba ubah pelan-pelan. Maaf buat kamu ga nyaman."

.

.

.

Raka tersenyum tipis melihat Jendra yang sedang memasak sarapan.

Ternyata lelaki itu tak bercanda saat mengatakan bahwa ia akan merubah cara bicaranya pada Raka.

Kini, Jendra terlihat lebih santai ketika mengobrol dengannya. Ya, walaupun lelaki jangkung tersebut masih menggunakan kosa kata 'saya'. Tapi tak apa, setidaknya sudah tak se kaku dulu.

"Aaaa." Jendra menyuapkan sesendok lontong sayur yang ia buat sendiri.

Raka mengunyah makanan itu pelan-pelan. "Gimana? Enak?" Tanya Jendra sedikit was-was, karena baru pertama kali ia membuat makanan ini.

Melihat respon Raka yang menganggukkan kepala membuat dirinya tersenyum tipis.

"Makan yang banyak, biar cepet sembuh," ujarnya.

.

.

.

Kiw kiw, Om Jendra udah tobat. Raka masih idup, kita ga jadi dapet nasi kotak.

Btw mau tanya, kalian mau yang mana?

Tim sad ending 🙏🏻

Or

Tim happy ending ☝🏻

Eternal; Shanka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang