"Hah!" Raka terlonjak dan terbangun dari tidurnya ketika mengalami mimpi yang mengerikan.
Dalam hatinya ia berdoa agar semua yang dialaminya di dalam mimpi itu benar-benar terjadi.
"Berisik!" Seseorang di sana melempar sebuah rokok yang masih menyala hingga mengenai kening Raka.
"Sial."
"Lepasin gue!"
"Lo siapa berani nyuruh-nyuruh gue?" Lelaki itu menendang perut Raka hingga pemuda itu jatuh ke samping.
Cklek
Pintu terbuka. Seseorang yang melempar rokok tadi langsung membungkukkan badan sejenak ketika melihat tuan mudanya datang.
Raka tak bisa melihat siapa yang datang karena matanya masih tertutup kain.
Tapi ia tau, itu adalah pemuda yang menyiksanya dari kemarin. Ia meneguk ludahnya susah payah.
"Kenapa dia jatuh gitu?"
"Dia memberontak, tuan muda."
Pemuda yang baru saja masuk itu mengangguk mengerti. Ia melangkah mendekat pada Raka dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
"Kenapa berontak? Padahal di sini enak. lo ga usah sekolah, ga usah belajar, dan yang terpenting lo ga di siksa sama abang lo lagi."
"Tapi sebagai gantinya..., gue dengan senang hati nyiksa lo. Baik, kan gue?"
"Ah iya. Gimana kabar lo? Pasti baik banget hari ini. Ya kan?"
Raka merasakan dagunya dingin seperti tertempel besi. Perlahan, benda itu bergerak dari dagu hingga dadanya.
"Shh...."
"Gimana? Sakit?"
"Kalo gitu...."
Sret
"Akhh!" Erang Raka ketika sebuah pisau menggores dadanya lebih dalam dengan pola abstrak.
"Gue buat lebih sakit," lanjut pemuda tadi.
"Jerk," gumam pemuda itu setelah selesai mengukir dada Raka.
"Lo tau ga sih, Lo itu..., salah satu manusia yang paling gue benci."
"ARGHH! BAJINGAN!" Teriak Raka sambil memejamkan matanya erat ketika luka di dadanya ditetesi perasan jeruk nipis.
Ditambah, pemuda itu juga menaburkan garam seolah-olah Raka adalah daging yang siap dimasak.
"Bajingan? Gue ga peduli sih, apa yang Lo bilang." Ia mengangkat bahunya tak peduli.
"Hm, mungkin sekarang waktunya, biar gue ga capek-capek sandiwara lagi."
Pemuda itu perlahan membuka penutup mata Raka.
Begitu kain hitam yang menutupi matanya terlepas, Raka mengerjapkan matanya beberapa kali sambil menunduk.
Setelahnya, ia mendongak untuk melihat siapa orang yang menculiknya.
Deg
Ga mungkin, batinnya tak percaya. Orang yang ia percaya, mengkhianatinya.
Mimpi gue ga bakal jadi nyata, kan?
"Ferro...," lirihnya.
"Yes, it's my name. Why?" Pemuda itu menyeringai lebar. Ferro Geon. Pemuda yang menjadi sahabat Raka sedari kecil, Yang sudah dianggap saudara oleh pemuda itu ternyata dalang di balik semua kejadian ini.
Mulai dari teror, pesan tak dikenal, hingga penculikan ini adalah ulah Ferro yang dibantu oleh seseorang.
Raka menggeleng pelan, ia menatap sahabatnya kecewa. "Kenapa Lo lakuin ini?"
Belum sempat ia menjawab, pintu sudah di dobrak kencang oleh seseorang. Keduanya menoleh bersamaan untuk melihat siapa yang datang.
"Bang Jendra?"
"Raka!" Seru Jendra.
Dengan cepat Ferro bergerak ke belakang tubuh Raka dan menempelkan sebuah pisau di leher pemuda itu.
"Maju selangkah, Raka mati."
"FERRO!?" Seru tiga orang dibelakang Jendra. Mereka adalah Zen, Faza, dan Dimas.
"Hi, sepupu." Ferro melambaikan tangannya dan tersenyum.
"Bajingan," desis Zen.
"Kenapa kamu lakuin ini semua?" Tanya Jendra santai. Namun, tatapan tajamnya tak lepas dari Ferro.
"Kalian mau tau kenapa gue buat rencana ini? KARNA RAKA UDAH BUAT ALLYN MENINGGAL!" Ferro berteriak marah.
Zen dan Dimas menggeleng. "Itu bukan salah Raka, Fer."
"Ga! Itu semua salah Raka! Kalo aja dia ga kepleset, Allyn ga bakal mati di makan buaya!"
"Fer-"
Dor
Ferro tersenyum miring mendengar suara tembakan. Ia menunjuk pintu bewarna merah yang berada di pojok ruangan. "Liat siapa yang jadi partner gue."
Seorang wanita memakai dress ketat berjalan anggun ke arah mereka. Ditangannya terdapat satu pistol bewarna hitam.
"Jihan?" Beo Jendra.
"Long time no see, Pak Jendra."
"Ada urusan apa kamu sama Raka?" Jendra mengepalkan tangannya.
"Urusan Raka? Dia yang buat saya ga bisa dapetin Pak Jendra! Raka yang buat Pak Jendra kasar sama saya!" Marahnya.
"Asal kamu tau, saya nolak kamu bukan karna Raka. Tapi karna sikap kamu sendiri. Saya bahkan sering liat kamu gonta-ganti pasangan. Saya ga mau bekasan," tutur Jendra yang membuat Jihan sakit hati.
"Pfft! Pantes Jendra ga mau sama Lo, Lo nya aja kaya lon-"
"Faza."
"Lontong sate, hehe." Faza segera memfilter ucapannya ketika mendengar suara Dimas.
"Diam!" Jihan menodongkan pistolnya ke arah Faza.
Dimas langsung melemparkan sebuah vas bunga yang terbuat dari keramik hingga mengenai kepala Jihan, yang membuat perempuan itu tak sadarkan diri.
Ferro berdecak kesal dan mengambil pistol yang sebelumnya di bawa oleh Jihan.
"Lo tau ga sih? Kalo bang Jendra itu bukan abang kandung lo, makanya dia selalu bersikap kasar sama lo. Ya gak, bang?"
"FERRO!" Jendra berseru marah. Ia menoleh ke arah Raka. Pemuda itu menatapnya dengan tatapan tak terbaca.
Tiba-tiba Ferro menusuk perut Raka dan menembakkan peluru ke bahu pemuda itu. Dengan segera, ia kabur melalui pintu merah tadi.
Keempat orang di sana sangat terkejut, Faza bahkan hampir terjatuh melihat sepupu kesayangannya ditusuk dan di tembak seperti itu.
"Sial!" Jendra langsung menggendong Raka untuk dibawa ke rumah sakit. Sedangkan Zen, Faza, dan Dimas mengurus Jihan dan mengejar Ferro.
"Raka, jangan tutup mata kamu."
"B-bang..., ngantuk," lirihnya. Seketika kedua mata Raka terpejam sempurna.
"RAKA!" Jendra langsung mengencangkan laju mobilnya ke rumah sakit.
.
.
.
DUARRR!!!
Gimana kondisi batin kalian setelah baca chapter ini?
Maaf ya soal bab kemarin, hehe.
Oh iya, kemungkinan ini update terakhir aku. Soalnya, besok Senin aku udah ujian.
Mungkin aku bakal lanjut update Minggu depannya (setelah ujian).
Sorry, and thank you buat yang udah ramein cerita ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal; Shanka [END]
General Fiction[BROMANCE AND BROTHERSHIP AREA] Bagaimana jika seseorang yang menyukai kebebasan harus hidup berdampingan dengan manusia yang sangat posesif? apakah ia harus menuruti perintah untuk keselamatannya, ataukah tetap berusaha mencari celah untuk bebas? M...