"Jangan ditahan, demi diri kamu sendiri. Inget, kamu masih punya saya dan mereka."
"Tolong, kamu jangan lukai diri kamu sendiri lagi, ya? Kamu bisa cerita ke kami."
"Semoga."
Obrolan singkat yang ia lakukan tadi terngiang di kepalanya.
Seorang lelaki yang sedang duduk di teras rumah dengan rokok di sela-sela jari telunjuk dan jari tengahnya.
Gue cuma ga mau lo lakuin hal lebih Jen, apa lagi sampe ngelukai dia pake benda.
"Mobil Avanza!" Panggil seseorang.
Pemuda itu menoleh. "Nama gue Dimas, ye Pororo!"
"Dih nama aku Ferro! Kan nama Bang Dimas belakangnya ada Avanza nya," jawabnya sambil tersenyum tak berdosa.
"Vaganzha, anjir, Vaganzha!"
Ferro menjulurkan lidahnya mengejek. Dimas pun mendekatkan ujung rokok yang masih menyala itu ke depan bibir Ferro. "Ngomong neh sekali, rokok e tak lebokke neng cangkem mu!"
(Ngomong lagi sekali, rokoknya aku masukin ke mulutmu!)
Pemuda itu meringis dan menggeleng cepat. "Hehe, bercanda bang."
Adik dari Dimas datang membawa nampan berisi tiga gelas minuman dan sebuah piring berisi makanan. Ia duduk di sebelah Ferro dengan kaki bersila.
Dimas memang sengaja menggelar karpet agar lebih enak untuk mengobrol.
Seketika raut keduanya berubah serius. Tak ada tawa lagi diantara mereka.
"Gimana?"
"Tadi sempet ketemu, makanya gue suruh Ferro kesini. Gue mau ngasih tau kalian, ga sengaja gue liat ada luka lagi di tangannya."
"Zen, Ferro. Tolong nasehatin dia pelan-pelan, biar ga kaya gitu lagi. Kalo kaya gitu terus, bisa berdampak buat kesehatannya."
Keduanya mengangguk bersamaan. "Kita usahain. Aku juga ga tega kalo liat dia kaya gitu terus," ujar Zen.
Mereka tahu, bahwa sudah dua tahun ini Raka sering melukai dirinya sendiri. Ketiganya selalu memberikan kata-kata penyemangat untuknya.
"Pelan-pelan aja, jangan buat dia tertekan. Gue tahu kalian sayang banget sama dia, termasuk gue sih."
Keduanya mengangguk. Setelah membahas obrolan serius itu, mereka lanjut mengobrol hal-hal random ditemani segelas kopi dan pisang goreng yang masih hangat.
.
.
.
Jendra kembali berulah. Lelaki itu berada di ruang yang berada di halaman belakang rumah bersama dengan seorang pemuda yang meringkuk di pojok kasur. Siapa lagi jika bukan Raka.
Bahkan, kedua pemuda itu tak memakai baju. Bedanya, badan Raka terdapat luka, mulai dari punggung, dada, hingga perutnya.
"Kamu ikut pertandingan itu?"
Raka menggeleng keras, ia memeluk tubuhnya yang terasa dingin dan sakit.
"Jawab saya, kamu ikut pertandingan itu, Sanka!?"
"Engga," jawabnya sangat pelan.
Hal ini bermula dari Jendra yang tak sengaja melihat sebuah brosur di atas meja belajar Raka yang berisi tentang pertandingan basket.
Ia sangat marah, sudah berkali-kali Jendra melarang Raka untuk mendekati salah satu cabang olahraga itu.
Pemuda itu langsung ia tarik dan ia hukum seperti biasa. Tamparan, pukulan, tendangan, bahkan cambukan sudah Raka terima dari setengah jam yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal; Shanka [END]
General Fiction[BROMANCE AND BROTHERSHIP AREA] Bagaimana jika seseorang yang menyukai kebebasan harus hidup berdampingan dengan manusia yang sangat posesif? apakah ia harus menuruti perintah untuk keselamatannya, ataukah tetap berusaha mencari celah untuk bebas? M...