31. Alasan

2.8K 303 65
                                    

"Jen! Mau kemana?"

"Nyari Raka, Dim."

"Ikut!" Itu bukan suara Dimas. Melainkan suara Faza yang tiba-tiba muncul dari belakang tubuh Dimas.

"Gue masih ga yakin sama lo. Ntar Raka lo apa-apain lagi, kan?" Tuding Faza sambil menunjuk wajah Jendra.

"Faza. Your mouth, please," tegur Dimas. Ia menurunkan jari telunjuk Faza.

"Sorry, Kak. Walaupun Jendra sepupu aku, aku masih agak ga percaya sama dia."

Jendra menghela napas. "Jadi ga?"

Faza dan Dimas mengangguk. Akhirnya, mereka bertiga pergi menggunakan mobil Jendra.

"Kita mau kemana?"

"Ke rumah Om Erion dulu."

Mereka diam dengan banyak pertanyaan dibenak mereka. Siapa yang menculik Raka? Apa tujuannya?

Sesampainya di sana, mereka langsung bertemu dengan Erion.

"Zen tadi pergi, sampe sekarang belum pulang."

Mendapatkan jawaban seperti itu, akhirnya mereka melanjutkan pencarian.

Cuaca sudah mulai panas, dan mereka belum juga menemukan Raka.

Ting

Lo mau Raka kembali? Ga akan gue biarin.

Jendra langsung mengirim nomor itu pada Erion, tanpa berkata-kata, ia kembali menuju rumah pria itu.

"Loh kok balik?"

"Ke rumah Om Erion," jawab Jendra.

Di sana, Erion terlihat fokus menatap sebuah tab di tangannya.

"Lokasinya di bangunan kosong, yang lumayan jauh dari sini. Kalian tau rumahnya Zen?"

Ketiganya mengangguk. Erion tersenyum tipis. "Dari rumah itu masih sekitar setengah jam buat sampe ke lokasi," lanjutnya.

"Makasih om."

Jendra menatap handphonenya penuh arti. Sepertinya pengirim itu kurang fokus, hingga dengan mudahnya ia bisa melacak keberadaannya.

Setelah pamit, mereka kembali menaiki mobil dan melaju dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata.

"Itu bukan?" Tunjuk Faza pada sebuah bangunan tua yang sudah dipenuhi lumut.

"Kayaknya iya."

Menyusun strategi beberapa menit, Jendra memasuki bangunan itu terlebih dahulu.

Ada 2 bodyguard yang berjaga. Ia dengan mudah membuat keduanya pingsan.

Dari belakang, Dimas dan Faza menyeret kedua bodyguard itu menjauh dari bangunan tadi.

Plak

"Brengsek!"

"Lo pikir gue peduli? Enggak!"

Jendra mengepalkan tangannya saat mendengar suara itu. Ia mengintip dari belakang pilar besar.

.

.

.

Brak

Jendra menendang pintu didepannya dengan mudah. Ia membelalak kaget saat melihat kondisi Raka yang memprihatinkan.

Penampilannya sangat kacau. Pemuda itu hanya menggunakan celana pendek, ia sangat ingat. Itulah celana terakhir yang dipakai oleh Raka.

Badan penuh memar dan banyak luka sayatan, bahkan ada beberapa darah yang belum mengering.

Kedua manusia yang berada di dalam ruangan itu terkejut. Mereka menoleh bersamaan.

Eternal; Shanka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang