36. Jeruk

4.2K 285 27
                                    

Kedua lelaki berbeda usia itu sudah memasuki gedung tua yang dipenuhi oleh rerumputan dan lumut.

Raka menatap sekeliling. Kenapa Jendra membawanya ke sini? Apakah ia benar-benar akan dijual?

Ah, maaf. Sekarang Raka masih parno, ucapan Ferro masih sedikit terngiang di kepalanya.

"Jangan mikir macem-macem. Kalo abang emang pengen jual kamu, udah dari dulu saya jual."

Pemuda itu tahu, Jendra hanya bercanda. Tapi, itu tetap terdengar menyeramkan.

"Ayo," ajak Jendra. Ia menggandeng tangan mungil Raka, lalu berjalan menuju tangga yang mengarah ke bawah.

Bawah tanah?

Ketika sampai di bawah, suara jeritan wanita terdengar. Raka tersentak, pemuda itu tanpa sadar menahan tangan Jendra yang akan membuka pintu besi itu.

Jendra sudah menduga, Raka akan bereaksi seperti ini. "Mau pulang aja?"

Raka menggeleng cepat. "Engga, nanggung udah sampe sini."

"Yakin?"

"Seratus persen yakin."

Cklek

Pintu benar-benar terbuka. Raka menegang, jantungnya berdetak sangat cepat.

Ada 7 anak buah Jendra yang sedang menyiksa Jihan.

Selama ini, Jendra memerintah anak buahnya untuk menyiksa Jihan, lalu mengobatinya. Setelah diobati, ia akan menyuruh mereka untuk menyiksa Jihan lagi.

Begitu seterusnya selama hampir 2 bulan ini. Mental Jihan tentu saja tidak baik-baik saja, wanita itu terkadang tertawa, kemudian menangis sendirian.

"Hei, are you okay?" Tanya Jendra lembut.

"No."

Bagaimana lelaki itu masih bisa menanyakan hal itu!? Padahal, Raka sudah sangat terkejut.

Jihan. Wanita itu terikat di sebuah kursi. Badannya penuh luka sayatan, banyak helai rambut yang ada dibawah kursinya.

Bercak darah hampir memenuhi seluruh tubuhnya, begitu juga dengan kaos yang dikenakannya. Pakaian yang sebelumnya bewarna putih, kini benar-benar berubah warna menjadi merah darah.

Raka dapat melihat darah yang mengalir di mulut perempuan itu.

Jihan tiba-tiba menggerakkan kepalanya. Ia seketika histeris dan berteriak ketakutan saat melihat Jendra.

Ia menendang-nendang udara, seolah memperingati agar Jendra tak mendekat.

Perempuan itu tak mampu berbicara, karena mulutnya baru saja di sayat. Ia hanya bisa berteriak dan menangis.

Apakah Jendra peduli? Tentu saja tidak.

"Sudah dua Minggu saya tidak ke sini. Kamu terlihat takut? Bukankah biasanya kamu akan senang jika bertemu saya?"

"Bahkan kamu rela terlihat murahan hanya untuk mendapat perhatian saya." Jendra menatap remeh Jihan.

Jihan menggeleng. Ia semakin menangis melihat Jendra mendekat membawa sebuah palu dan pisau.

"Bang Jendra."

Jendra menoleh ke belakang. "Ah, abang lupa kalo kamu ikut. Sini!"

Raka meneguk ludahnya pelan. Ia berjalan dengan jantung yang berdetak kencang.

Tatapan Jihan terlihat marah saat melihat wajah Raka. Ia seperti berusaha maju untuk menyerang pemuda tersebut.

Plak

Eternal; Shanka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang