"Lo jangan fitnah ya! Gue inget banget, gue ga beli yang daging sapi! Lo yang terakhir memang belanjaan tadi! Lo apain isinya, hah!? Lo tuker?" Zen menunjuk wajah Ferro. Di saat seperti ini, Zen terkadang tidak bisa mengontrol ucapannya.
Tuduhan itu membuat Ferro geram, ia menatap tajam sepupunya. Tiba-tiba....
Bugh
Ferro memukul pipi Zen, yang dibalas dengan tendangan di dadanya.
"Stop! Tolong berhenti. Ini rumah sakit, jika berkelahi jangan di sini. Mengganggu kenyamanan yang lain," tegur seorang perawat yang tak sengaja melihat perkelahian keduanya dengan tegas.
Dengan tatapan permusuhan, Zen menarik kasar tangan sepupunya dan membawa pemuda itu keluar.
Ketika di parkiran, Ferro menyentak tangan Zen dengan kasar. "Kalo ngomong di jaga, njing!"
Setelah mengatakan itu, Ferro melempar kunci mobil ke arah Zen dan beranjak pergi.
Zen menghela napas dan mengacak rambutnya kasar. Ia kembali masuk ke dalam, dan ternyata Raka sudah siuman dengan dokter di sebelah pemuda itu.
"Masih ada yang sakit, Ka?"
Pemuda dengan masker oksigen itu menoleh ke arah Zen dan menggeleng pelan.
"Cairan infusnya tinggal sedikit. Nanti kalau udah habis, panggil perawat ke sini biar dilepas," ujar dokter yang sudah selesai mengecek keadaan Raka.
Zen mengangguk mengerti dan mengucapkan terima kasih. Setelah dokter itu pergi, Zen duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang.
Keduanya sama-sama diam, sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hingga 5 menit berlalu, akhirnya Zen membuka suara.
"Raka?" Pemuda itu menoleh.
"Maaf," ucapnya pelan.
"Gue bener-bener ga tau galantin tadi ada daging sapinya, seinget gue, tadi gue ambil yang ayam, Ka. Gue-"
Sebuah jari telunjuk mungil mendarat di bibir Zen yang membuatnya mendongak.
"Gapapa, bukan salah lo," lirih Raka pelan. Ia memang tak bisa menyalahkan Zen begitu saja, karena ia tahu pemuda itu juga terlihat sangat terkejut.
"Maaf...."
Raka hanya tersenyum tipis menanggapinya. Ia melirik sekitar, dahinya mengerut saat tidak melihat sahabatnya.
"Dia pulang. Di cari tante." Seolah mengerti pikiran Raka, Zen menjawab dengan tenang.
"Oh, oke."
.
.
.
Kacau. Pakaiannya kusut, rambut berantakan, dengan kantong mata yang terlihat jelas.
Sudah 3 bulan pemuda manis kesayangannya tidak kembali. Tiap malam ia tak bisa tidur nyenyak memikirkannya.
"Sial!" Umpatnya pada diri sendiri. Ia berdiri di balkon kamarnya dengan segelas wine ditangannya.
Meneguknya sekali, ia menghela napas panjang.
Flashback on
"Jendra!"
"Apa?" Jawabnya. Ia melihat sahabat satu-satunya itu memasuki rumahnya.
"Lo ga rencanain apa-apa, kan?" Tanyanya.
"Rencana apa yang lo maksud?"
"Ya barangkali ada sesuatu dibalik lo bilang mau berubah." Dimas tentu kurang percaya, Jendra tiba-tiba mengatakan akan berubah?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal; Shanka [END]
General Fiction[BROMANCE AND BROTHERSHIP AREA] Bagaimana jika seseorang yang menyukai kebebasan harus hidup berdampingan dengan manusia yang sangat posesif? apakah ia harus menuruti perintah untuk keselamatannya, ataukah tetap berusaha mencari celah untuk bebas? M...