"Woi remnya blong!"
"Kok bisa!?"
"Ga tau! Ini gimana!?"
"Awas ada anak kecil!"
"ARGHHH!"
Brak
"Catat tanggal kematiannya. Maaf, Tuhan lebih sayang dengan sahabat kalian."
"GA! GA MUNGKIN!"
"Jaga mata dia, ya?"
"Arghh!"
"Jangan!" Seru seseorang. Ia mendudukkan tubuhnya dengan napas tersengal-sengal.
Ia menoleh ke kanan dan kiri. "Mimpi? Haaah...." Pemuda itu menghela napas lega.
"Kenapa kerasa banget mimpinya?"
"Zen!"
Lelaki itu menoleh, melihat sang kakak yang bertelanjang dada membuka pintu kamarnya dengan kasar.
"Kenapa?"
Dimas menghidupkan lampu kamar adiknya, lalu mendudukkan diri di pinggir kasur.
"Nightmare," jawab Zen. Dimas mengangguk mengerti, ia lantas mengelap keringat di leher pemuda itu.
Tadi ia sempat panik karena mengira ada sesuatu yang terjadi pada adiknya karena mendengar teriakan yang berasal dari sini.
"Minum dulu," titah Dimas mengambil sebotol air putih yang ada di nakas sebelah ranjang.
Zen menerimanya dan meminum dengan pelan. Setelahnya, ia mengembalikan botol itu ke tempatnya. Matanya menatap kosong kearah tembok.
Dimas menghela napas kecil, lalu menaiki kasur tersebut untuk menidurkan dirinya di sebelah Zen.
Ia menarik pelan bahu Zen agar pemuda itu merebahkan tubuhnya.
"Tidur lagi, gue temenin." Pemuda itu mengangguk. Ia menghadapkan tubuhnya dan mendekatkan diri kearah Dimas.
Lelaki itu langsung merengkuh pinggang Zen. Tangan satunya ia gunakan untuk membelai rambut pemuda tersebut.
"Tadi udah ketemu sama Fara?"
"Iya. Makin cantik aja dia," jawab Zen iseng.
"Akhh!" Ringisnya saat jari tangan Dimas dengan lancar mencubit pinggangnya.
"Bercanda kali, sensi amat," cibirnya.
Dimas sudah bersiap akan mencubit Zen kembali, namun pemuda itu dengan sigap menahan tangan lelaki yang sedang memeluknya.
"Ngantuk," adunya. Dimas terkekeh pelan, ia menepuk pelan pinggang Zen dan kembali mengelus rambutnya.
"Sweet dreams," ucap Dimas pelan sambil mengecup kening Zen sebelum menyusul ke alam mimpi.
.
.
.
"Mama! Bang Dimas nakal!" Zen berteriak sambil berlari menghampiri sang mama.
Sedangkan Dimas sudah tertawa keras dengan tangan yang membawa seekor capung.
"Dimas! Udah tau adeknya takut capung, masih aja digituin," omel Erlin pada anak sulungnya.
"Maaf ma, mukanya bikin ngakak sih!"
Zen melempar sebuah tutup gelas berbahan plastik ke arah kakaknya, dan dengan tepat tutup gelas itu mengenai kepala Dimas.
"Woi! Ga gitu lah!" Zen menjulurkan lidahnya.
"Ini juga! Ga kaya gitu sama kakaknya! Kalian bisa ga sih ga ribut aja sehari!"
"Kuping mama cape denger teriakan kalian, sehari ga ribut bikin bibir kalian lumutan apa gimana!?"
Keduanya langsung diam saat omelan dari ibunda ratu terus berlanjut.
Matanya saling menatap tajam seolah menyalahkan satu sama lain.
"Ma, Zen punya pacar loh," celetuk Dimas mengalihkan pembicaraan.
Spontan Erlin menatap tajam anak bungsunya. "Zen! Udah mama bilangin jangan ganti-ganti cewe kaya gitu! Dikira cewe kaya baju yang kamu ganti tiap hari!?"
"Engga ma! Aku ga punya pacar lagi sekarang!" Zen menggeleng keras.
"Halah, sekarang ga punya. Besok paling udah ada lagi," cibir Dimas.
"Heh jangan sembarangan! Aku terakhir punya pacar kelas sepuluh ya! Bang Dimas tuh yang punya cewe lain, padahal udah ada Fara," ujar Ferro tak terima.
"Dimas," panggil Erlin dingin.
"Engga ma! Jangan percaya sama Zen, dia sesat! Cewe aku cuman Fara doang, beneran! Emangnya aku kaya dia-" Dimas menunjuk wajah Zen. "-gonta-ganti pacar mulu tiap minggu, idih ga banget jadi cowo."
"Apaan sih! Rese banget jadi orang! Udah dibilangin terakhir punya pacar pas kelas sepuluh kok!"
Erlin yang sudah jengah pun mengambil dua buah wortel yang sudah di potong beberapa bagian dan menyumpalkannya ke dalam mulut Dimas dan Zen.
"Wleek!" Keduanya langsung mengeluarkan wortel tersebut dari mulutnya.
"Ribut lagi, mama tambahin sawi sama brokoli mentah."
.
.
.
"Ck, sial! Kenapa dia harus balik sekarang sih. Kalo kaya gini caranya, rencana gue bisa gagal."
"Apa gue harus bikin dia menjauh dari mereka? Khususnya dia," ujarnya menunjuk sebuah foto yang masih terdapat paku.
"Pokoknya gue harus bisa hancurin dia! Gue ga mau kaya gini! Gue ga mau!" Teriaknya seperti orang yang kesetanan.
"Kalo aja lo ga ada, gue ga bakal susah-susah sandiwara kaya gini. Gue muak sama lo!"
Pemuda itu mengambil sebuah foto yang terselip di dompetnya. Seorang gadis cantik yang memegang buket bunga dengan bibir tersenyum tipis.
"Cantik."
"Seandainya lo ga belain dia, pasti sekarang kita masih bisa sama-sama kaya dulu."
Ia mengelus pelan foto itu, tak lama ia mengecup nya sedikit lama dengan mata terpejam.
Setelahnya foto itu kembali ia simpan. Pemuda tersebut mengambil rokok yang sudah menyala di mejanya.
Menghisap rokok itu beberapa kali, ia mencabut foto pemuda yang ia tempel di dinding.
Ia meraih korek api di saku celananya, lalu dengan tiba-tiba ia membakar foto itu.
"Gue harap lo mati."
"Gue bakal bikin orang-orang terdekat lo benci sama lo, dan lo bakal sendirian."
"Sebenernya gue males kaya gini. Tapi... Biar rencana gue berjalan lancar, gapapa lah."
Pemuda itu terus berceloteh sendiri di ruangan yang lumayan gelap miliknya.
Keluarganya bahkan tak tahu bahwa sang anak memiliki ruangan tersembunyi seperti ini.
Drrt drrt
"Halo?"
"Lo di mana? Gue mau kerumah lo."
"Sekarang? Gue lagi ga dirumah!" Jawabnya panik.
"Lo dimana emang? Ini gue di deket pasar malem. Kalo lo disekitar sini, gue samperin aja."
"Ga usah! Abis ini gue otw pulang kok. Lo langsung ke rumah aja."
"Yaudah, cepet!"
"Hm."
Setelah telfon terputus, ia melangkahkan kakinya keluar. Namun sebelum itu, ia sempat menginjak foto pemuda yang telah hangus terbakar menjadi serpihan abu.
.
.
.
Hi guys! I'm back.
Oh iya, selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankan, ya!Kira-kira yang dibakar foto siapa ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal; Shanka [END]
General Fiction[BROMANCE AND BROTHERSHIP AREA] Bagaimana jika seseorang yang menyukai kebebasan harus hidup berdampingan dengan manusia yang sangat posesif? apakah ia harus menuruti perintah untuk keselamatannya, ataukah tetap berusaha mencari celah untuk bebas? M...