"Ayo Ka!" Ajak Zen di depan kelas. Lelaki itu sudah memakai Hoodie hitamnya yang selalu ia bawa ke sekolah.
"Kemana?"
"Rumah gue." Raka mengernyitkan keningnya ketika mendengar jawaban Zen. "Bang Jen tadi chat gue, katanya dia pulang malem, kan? Katanya lo biar dirumah gue dulu. Nanti malem di jemput sama dia, lagian lo ga bawa motor juga, kan?" Terangnya.
Raka mengangguk dan menghampiri Zen. Mereka berdua berjalan berdampingan.
"Ferro mana?"
"Tadi pulang duluan. Milo sekarat katanya."
"Njir. Ngapain lagi tuh kucing ampe sekarat."
Mereka sampai diparkiran. Raka segera naik ke atas motor Zen, pemuda itu langsung menghidupkan motornya.
Zen mengendarainya dengan santai, ia melirik spion dan melihat Raka yang sepertinya mengantuk.
Pemuda itu menarik lembut tangan kiri Raka dan ia lingkarkan ke pinggangnya sendiri.
"Pegangan." Raka tersenyum tipis, kedua tangannya melingkar manis di pinggang Zen.
Tangannya bergerak meraba perut Zen, membuat pemuda itu melirik ke spion. "Kenapa, hm?"
"Perut lo kok bisa kotak-kotak sih! Gue kan juga pengen," melasnya sambil mengelus perut putih mulusnya yang rata.
Zen terkekeh kecil, lalu menjawab, "lo males olahraga sih, kalo kaya gitu mulu kapan jadinya."
Tangannya yang masih berada di pinggang Zen, membuatnya dengan mudah mencubitnya.
"Ini juga salah lo, Bang Jendra, sama Ferro! Kalian ngasih gue makanan mulu," sanggahnya.
Zen hanya tertawa lirih dibalik helm full face miliknya. Memang benar adanya, ia selalu memberi Raka makanan, dengan alasan agar pemuda itu tidak jatuh sakit.
"Abang lo dirumah?"
"Ga tau. Tapi kata Faza, dia ama Bang Dimas mau nonton."
"Pengen deh," ujar Raka pelan.
"Pengen apa? Pacaran? Sama siapa? Ga, nanti lo jadi jarang sama gue."
Raka berdecak kesal, kenapa ia dikelilingi oleh manusia-manusia posesif?
"Pengen nonton!"
"Oh."
.
.
.
"Mandi dulu."
"Bentar, Zen! Mager."
"Mandi atau gue mandiin?"
"Iya, iya! Gendong," pintanya.
Zen dengan senang hati menggendong tubuh mungil pemuda di depannya.
"Katanya, Raka Karunasankara tuh sangar, galak. Ternyata masih suka minta gendong ya?" Canda Zen.
Raka langsung memukul punggung Zen lumayan keras hingga pemuda itu meringis.
"Sana mandi! Bajunya gue siapin. Handuknya udah ada di dalem."
Pemuda manis itu mengangguk lesu. Ia sebenarnya malas mandi, namun jika tidak menuruti perintah Zen, ia takut jatah permen hariannya akan dipotong.
Beberapa menit kemudian, Raka keluar menggunakan handuk bewarna hitam yang melingkari tubuhnya.
Mengambil setelan baju yang telah disiapkan oleh Zen, ia langsung memakainya.
Tok tok tok
"Udah belum?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal; Shanka [END]
General Fiction[BROMANCE AND BROTHERSHIP AREA] Bagaimana jika seseorang yang menyukai kebebasan harus hidup berdampingan dengan manusia yang sangat posesif? apakah ia harus menuruti perintah untuk keselamatannya, ataukah tetap berusaha mencari celah untuk bebas? M...