Seperti ucapannya kemarin, kini Raka sudah berada di dapur memakai apron coklat bergambar beruang.
Ia sedang memotong sayur yang akan dimasak. Seorang lelaki berjalan pelan dan berdiri di belakang Raka. Pemuda itu sama sekali tak menyadari bahwa ada seseorang dibelakangnya.
Grep
Lengan kekar dengan urat menonjol itu memeluk pinggang Raka yang membuat terkejut. Bahkan, ia hampir menggores tangannya dengan pisau.
Aroma parfum yang tak asing, membuatnya langsung tahu siapa yang memeluknya.
"Bang! Hobi banget sih bikin aku kaget!" Gerutunya setelah memukul pelan punggung tangan lelaki yang memeluknya.
Lelaki itu terkekeh geli, ia mengecup bahu Raka yang terekspos beberapa kali.
Pemuda manis itu memang mengenakan kaos oversize yang membuat baju bagian atasnya sedikit melorot hingga bahu mulusnya terlihat.
Jendra meminum segelas air putih. Raka terus menerus mengamati jakun lelaki itu yang selalu bergerak naik-turun ketika menelan.
Ia meneguk ludahnya dan memegang lehernya sendiri. Kenapa miliknya tak se keren itu ketika menelan? Ia jadi iri dengan Jendra.
Mengambil pisau dapur, ia mengambil 2 buah wortel. "Dipotong biasa?"
Pertanyaan tersebut membuatnya tersadar. "Heem. Tapi jangan tebel-tebel atau ketipisan."
Dengan lihai Jendra memotong wortel itu. Setelahnya, ia membantu Raka untuk menyiapkan panci yang akan digunakan.
Lihatlah, bahkan saat sedang memasak seperti ini, Jendra sangat tampan. Padahal, lelaki itu hanya mengenakan kaos hitam pendek dengan celana selutut berwarna senada.
Sembari menunggu sayur matang, ia memutuskan untuk berganti baju terlebih dahulu.
10 menit kemudian, sayur sudah matang, bertepatan dengan Raka yang sudah sampai di dapur.
"Saya aja yang bawa, kamu duduk."
Pemuda itu menurut, ia duduk di salah satu kursi makan dan meneguk segelas air putih.
Keduanya makan dengan tenang, hingga 15 menit kemudian acara sarapan sudah selesai.
Hari ini Raka berangkat sekolah setelah lebih dari 1 Minggu izin, dan hari ini ia diantar oleh Jendra.
Entah sampai kapan, karena ia tidak diperbolehkan menaiki motor, selain itu, Raka masih belum berani menyetir sendiri akibat kejadian seminggu yang lalu.
"Ayo, udah jam setengah tujuh lebih."
Raka menoleh untuk melihat jam, ia mengangguk setelah melihat jarum jam menunjukkan pukul 06.37.
.
.
.
"Permisi, apa benar ini kelasnya Raka Karunasankara?"
Semua murid menoleh kearah pintu kelas. Mereka langsung berdiri saat melihat seseorang yang sudah seminggu lebih tak hadir.
"RAKA!?"
Raka tersenyum lebar dan melambaikan tangannya. Ia berjalan memasuki kelas lalu meletakkan tasnya di kursi tempatnya duduk.
"Gimana gimana? Udah baikan? Masih sakit ga tangannya? Kalo sakit bilang!" Tanya seorang siswi dengan heboh.
"Iya! Nanti kalo masih sakit bilang aja, aduh! Bayi gueee!" Sahut siswi satunya.
Raka berdecak kesal. Ia selalu dianggap bayi oleh siswi-siswi dikelas. "Woi Stella, Fina, bayi apaan dah!? Gue ganteng, sangar kaya gini lo katain bayi!" Protesnya tak terima.
"Di mata kita, lo tuh bayi. Gemesin pokoknya!" Jawab Stella antusias.
"Bener banget!" Fina menjentikkan jarinya dan melakukan tos dengan Stella.
"Tau ah!" Raka sedikit mengerucutkan bibirnya, dan mengerutkan kening.
"Akhh! Gemes banget!" Seru Fina sambil mengunyel pipi kenyal Raka hingga sedikit memerah.
"Heh! Sakit!" Rengeknya yang malah membuat Stella ikut gemas. Ia mengusak rambut Raka dan menekan kedua pipi pemuda itu hingga bibirnya kembali mengerucut.
"Ga kuat gue, ga kuat! Bibirnya bisa pink gitu!" Ucap Stella yang sudah tak kuat melihat Raka yang sangat manis.
Raka menepis tangan Stella dan mengusap pipinya yang sedikit perih. "Sakit, anjir!"
"Gue ngambek sama kalian. Kas kalian berdua gue bikin dua kali lipat!"
"Eh eh, jangan dong sayang," panik Fina.
"Sayang sayang, raimu!"
Pemuda itu mengambil handphonenya dan mengernyitkan dahi ketika melihat pesan dari nomor tidak dikenal.
'Gudang, istirahat. Sendiri.'
Hanya itu pesan yang tertera. "Maksud?" Gumamnya pelan.
"Kenapa?" Tanya Stella di kursinya. Kebetulan, tempat duduk gadis itu didepannya. Dengan Fina.
"Ga," jawabnya singkat. Ia meletakkan handphonenya di laci ketika melihat guru datang.
"Hari ini presentasi tugas kemarin ya," ucap guru itu.
"Bu Yuli!" Guru itu menoleh ke tempat duduk Raka.
"Saya gimana bu?" Tanya Raka mengangkat tangan kanannya.
"Kamu tetap ikut di kelompok sebelumnya. Tapi, karena nilai kamu kosong, nanti saya beri tugas tambahan. Tidak apa-apa?"
"Ga papa bu."
Akhirnya, satu persatu, setiap kelompok maju. Sama halnya dengan kelompok Raka.
"Sekian presentasi dari kelompok kami, jika ada kesalahan mohon dimaafkan dengan ikhlas," tutur Raka.
"Se ikhlas maafin mantan yang ninggalin kalian," tambah Ferro membuat siswa-siswi dan Bu Yuli tertawa.
"Eh, tapi kan pacarnya banyak yang fiksi ya?" Imbuh Raka iseng, beberapa siswa maupun siswi bersorak tak terima.
"Sudah-sudah, silahkan duduk lagi. Kalau diterusin ga selesai nanti," lerai Bu Yuli. Ia sebenarnya juga merasa tersindir, karena dirinya juga pecinta novel, dan tentunya ia menyukai sosok fiksi yang ditulis oleh pengarang.
.
.
.
"Kalian mau ke kantin?"
"Iya."
"Titip seblak ceker yang pedes, sama minumnya matcha, esnya banyakin. Gue mau ke kamar mandi bentar," ujar Raka.
Kedua sahabatnya mengangguk, lalu berlalu dari sana.
Setelah keduanya benar-benar pergi, Raka sedikit berlari menuju gudang yang berada di belakang.
Ia mengecek kembali ponselnya, dan ternyata orang itu kembali mengirim pesan.
'Masuk, sekarang!'
Raka mencengkeram erat handphonenya. Sebenarnya apa yang akan terjadi di sini!?
Baru selangkah ia masuk, kakinya tak sengaja menginjak sesuatu.
Krek
"Raka!"
.
.
.
Apaan tuh.
Siapa yang mau suami kaya Jendra??
Gimana sama chapter ini? Do you like it?
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal; Shanka [END]
General Fiction[BROMANCE AND BROTHERSHIP AREA] Bagaimana jika seseorang yang menyukai kebebasan harus hidup berdampingan dengan manusia yang sangat posesif? apakah ia harus menuruti perintah untuk keselamatannya, ataukah tetap berusaha mencari celah untuk bebas? M...