"A-apa yang dibilang Ferro itu b-bener?"
Deg
Tangan Dimas yang tadinya mengelus rambut Raka seketika berhenti.
Pertanyaan yang ia takutkan ternyata muncul.
Perlahan, Dimas menundukkan kepalanya menghadap Raka.
"Bang?" Raka meringis ketika merasakan pusing di kepalanya.
Dimas menghela napas pelan. "Istirahat, ya? Pusing kan," ajaknya mengalihkan pembicaraan.
"Tapi-"
"Sst! Sweet dreams." Dimas segera menyela ucapan Raka dan memijat pelan kepala pemuda itu.
Tak lama, dengkuran halus terdengar. Dimas tersenyum tipis mendengarnya.
Ia dengan perlahan memindahkan kepala Raka ke kasur. Merenggangkan otot sejenak, ia menoleh ketika melihat pintu terbuka.
"Gimana Raka?"
"Aman Jen."
Jendra melangkah mendekat. "Makasih, and..., sorry."
Dimas mengangguk dan tersenyum mengetahui maksud Jendra.
"Udah gapapa. Gue ke kantin dulu ya? Laper."
"Hm."
Setelah Dimas pergi, Jendra mendudukkan dirinya di kursi yang sebelumnya di pakai oleh Dimas.
Ia menggenggam tangan kiri Raka dan menempelkannya di dahi.
"Wake up, bear. I really love you. Saya ga ada maksud kaya gitu."
Oh, sepertinya Dimas lupa memberitahu Jendra jika Raka sudah siuman.
Ting
Gue lupa, Raka udah siuman.
Jendra langsung menatap Raka yang masih memejamkan mata. Ia mengelus pipi chubby pemuda itu hingga Raka menggeliat.
"Bang Jendra?"
Suara itu membuatnya menoleh. Ia melihat Zen yang mengucek matanya.
"Kantin," ucapnya singkat.
Zen yang paham mengangguk. "Aku nyusul abang dulu ya."
Kini tinggal Jendra dan Raka yang ada di ruangan itu. Tangannya bergerak mengambil sebuah anggur yang di bawa oleh Zen ketika datang.
Sudah 15 menit berlalu, namun Jendra masih setia menatap wajah manis Raka. Sesekali ia tertawa kecil saat mulut pemuda itu sedikit terbuka.
"Eungh...," lenguh Raka ketika Jendra mengelus bibir bawahnya.
Mata bulat itu mengerjap pelan, lalu ia menoleh ke samping kiri.
"Raka-"
"Keluar." Perkataan Jendra dipotong. Raka mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Saya-"
"GUE BILANG KELUAR! LO GA DENGER!?" Bentak Raka. Tangannya bahkan sudah membawa sebuah vas kecil yang terbuat dari kaca.
"Sanka...," panggil Jendra rendah. Ia mengepalkan kedua tangannya.
"Apa? Lo mau hukum gue lagi? Atau lo mau jual gue, hah!? Silahkan! Mumpung gue lagi kaya gini," sinis Raka sambil mengulurkan kedua tangannya yang penuh goresan.
"Lagian, gue kan cuma adek angkat lo." Pemuda itu menekankan pada kata angkat.
Deg
Jendra menatap sendu adiknya sambil menggeleng pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternal; Shanka [END]
General Fiction[BROMANCE AND BROTHERSHIP AREA] Bagaimana jika seseorang yang menyukai kebebasan harus hidup berdampingan dengan manusia yang sangat posesif? apakah ia harus menuruti perintah untuk keselamatannya, ataukah tetap berusaha mencari celah untuk bebas? M...