17. Gunung

4.3K 364 4
                                    

"Udah siap semua?" Tanya Raka.

"Udah!" Jawab mereka serentak.

Kini Dimas, Zen, Ferro, dan Faza sudah berada di depan rumah Raka.

Mereka sudah bersiap dengan peralatan lengkap.

"Ya udah, let's go!" Raka berseru. Ia membonceng Jendra menggunakan salah satu motor ninja koleksi lelaki itu.

Sedangkan Fara membonceng Dimas, dan Ferro membonceng Zen.

Sesampainya di sana, mereka mulai mendaki. Sesekali juga mengambil foto untuk dijadikan koleksi.

Jendra menekan aplikasi kamera dan mengarahkannya pada Raka yang sedang membelakanginya.

Karena cahaya tertutupi, foto Raka menjadi seperti siluet yang indah. Lelaki itu tersenyum tipis.

Tepukan pada bahu membuatnya menoleh. "Kaya gini terus ya? Jangan pake kekerasan mulu sama dia. Gue tau lo sayang sama dia," ujar Dimas.

Jendra hanya diam dan berdehem singkat. Ia menyusul tiga pemuda yang sudah berjalan kembali. Dimas menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sahabatnya ini.

Saat sampai di puncak, mereka mendirikan sebuah tenda.

Ada 3 tenda yang dipasang. Tenda pertama, untuk Jendra dan Raka, tenda kedua untuk Dimas, Zen, dan Ferro, dan tenda ketiga untuk Faza. Perempuan itu memang sudah terbiasa camping, jadi untuk tidur sendiri dalam satu tenda tak masalah.

"Istirahat dulu aja, nanti baru lanjut lihat-lihat," titah Dimas.

Semuanya mengangguk setuju karena memang sudah lelah setelah memasang tenda.

Mereka memasuki tenda masing-masing dan mengistirahatkan tubuhnya.

"Ini." Jendra memberikan sebotol air putih yang sudah ia buka pada Raka yang nampak kehausan.

Raka mengambil botol itu dan meminumnya. "Makasih."

Pemuda itu memutuskan untuk keluar setelah merasa badannya sudah tak lagi merasakan lelah.

Ia menuju ke bagian yang sedikit pinggir dan menghirup udara bebas.

Dengan tiba-tiba, seseorang merangkul bahunya dan menepuk kepalanya beberapa kali.

"Seneng?"

"Banget, kak! Aku ga pernah kaya gini dari dulu," jawab Raka. Ia tak menoleh pada orang yang mengajaknya bicara.

Matanya masih terpaku pada bangunan-bangunan dengan lampu berkelap-kelip yang terlihat dari sini.

Dimas tersenyum tipis. Ia tentu tahu, Jendra tak mungkin mengizinkan Raka bepergian seperti ini, apalagi tanpa pengawasannya.

"Kak Dimas!" Panggil Faza. Ia berteriak dari kejauhan.

Keduanya menoleh, melihat perempuan itu yang sedang membawa sebuah panci.

"Cariin kayu dong!"

"Jam berapa sekarang?" Tanyanya. Ia memang meninggalkan jam tangan dan handphonenya di tenda.

"Jam lima."

Dimas mengangguk. Saat akan pergi, Raka menahan lengannya.

"Ikut," pintanya.

"Tapi-"

"Ikut! Ikut! Ikut!" Pemuda itu menghalangi jalan Dimas dengan merentangkan kedua tangannya. Matanya menajam garang.

Lelaki tersebut terkekeh gemas, bahkan Faza ikut menggigit bibir bawahnya melihat kegemasan pemuda itu.

"Yaudah ayo."

.

.

.

Seorang pemuda mengikuti Raka dan Dimas. Ia mengendap-endap agar tak ketahuan.

"Gue bakal bikin lo celaka. Ya, walaupun nanti cuma luka kecil sih. Tapi gapapa, lain kali gue bikin lebih."

Pemuda tadi melubangi jalan dan memasukkan beberapa ranting yang lumayan tajam yang akan dilewati kedua orang itu saat kembali ke tenda lali menutupinya dengan dedaunan yang sudah kering.

Sesudahnya, ia kembali ke tenda. Sepanjang perjalanan, lelaki itu mengulas senyum miring.

Tepat ketika keduanya kembali, salah satu kaki Raka tak sengaja menginjak lubang yang tertutup dedaunan itu.

Krek

"Arghh!" Raka meringis ketika merasakan perih di kaki kanannya.

"Raka!" Dimas menjatuhkan kayu yang ia bawa dan mengangkat Raka perlahan.

Kaki kanan pemuda itu lecet dengan darah yang keluar lumayan banyak karena tergores dan sedikit tertancap ranting tajam.

Saat Dimas akan menggendongnya, ia menahannya dan mengambil kayu yang sudah di tali dan digabung menjadi satu.

"Ga usah, aku masih bisa jalan kok. Lagian udah deket," katanya.

"Tapi Ka-"

"Udah gapapa," sela Raka. Ia berjalan tertatih, diikuti Dimas yang memapahnya dengan satu tangan. Sedangkan tangannya yang kosong digunakan untuk membawa kayu.

Sesampainya didekat tenda, Jendra langsung berlari dan menggendong Raka saat melihat pemuda itu berjalan pincang.

Ia mendudukkan pemuda itu di sebuah kursi lipat yang ia bawa.

Tanpa berucap apa-apa, lelaki itu membasuh luka di kaki adiknya dan mengobatinya.

Saat selesai, ia baru bertanya pada kedua lelaki yang baru saja datang.

"Kenapa bisa kaya gini?"

"Tadi pas mau kesini, Raka ga sengaja nginjek lubang, di dalemnya ternyata ada ranting tajem," jelas Dimas,karena Raka bingung akan menjawab bagaimana. Ia meletakkan kayu di sebelah Faza yang sedang duduk sambil menekuk kedua kakinya.

Jendra mengangguk, ia menyentil pelan dahi Raka. "Ceroboh," cibirnya.

Pemuda itu berdecak pelan, hei! Bagaimana caranya ia tahu bahwa dirinya akan menginjak lubang seperti itu?

Setelah itu, Ferro dan Zen membuat api unggun dari kayu yang dibawa Dimas.

Hari sudah mulai malam, bahkan sudah pukul 20.30 sekarang. Mereka duduk melingkari api unggun dengan jaket yang melapisi tubuh mereka,karena memang saat ini udara lumayan dingin.

Faza mengupas 6 buah jagung manis dan menusuknya menggunakan kayu bersih yang ia bawa dari rumah, lalu mengoleskannya dengan mentega dan bumbu lainnya.

Setelah itu, ia membagikan jagung tersebut satu persatu. Mereka membakar jagung tersebut hingga matang.

Setelah matang, mereka memutuskan untuk bernyanyi bersama sambil menunggu jagung bakar itu tak terlalu panas.

"Ini." Jendra menyuapkan jagung bakar yang sudah hangat ke dalam mulut Raka.

Dengan senang hati pemuda itu menggigit dan mengunyahnya. Ia mengernyit ketika menyadari jagung yang ia makan tak terasa pedas.

Ia menoleh ke arah Faza yang sedang duduk menyandar di bahu Dimas. Lalu, ia melempar sebuah kerikil kecil hingga mengenai kaki perempuan tersebut.

Faza mengarahkan pandangannya ke arah Raka, dan mengangkat alisnya. Pemuda itu melirik jagung yang sedang dipegangi oleh Jendra.

Perempuan tomboy itu paham, lalu berucap tanpa suara, "disuruh." Ia menunjuk Jendra menggunakan dagunya.

Raka mengangguk paham, lalu kembali memakan jagung bakarnya.

Malam ini terasa seru, walaupun hanya satu hari, namun kegiatan yang mereka lakukan sangat menyenangkan. Bahkan Raka melupakan luka di kaki kanannya.

.

.

.

Inpo ngantemi yang baru jebakan ke Raka!

Btw komen banyak-banyak dong!

Eternal; Shanka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang