31. Dari Papa untuk Leo.

210 44 7
                                    

Chapter ini dibuat dari sudut pandang orang pertama.

Chapter ini dibuat dari sudut pandang orang pertama

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.


— Senandaru Angkara Nasution.

“Halo?”

Saya ingat saat itu ketika bukan suara Lino yang saya dapati, melainkan suara orang lain.

“Lino? Gimana Leo?”

Tidak ada jawaban di sana.

“Halo?” sekali lagi saya memastikan, khawatir karena di seberang sana hanya keheningan panjang.

“Leo jatuh dari tangga karena kerepotan bawa kanvas, dia harus dibawa ke rumah sakit. Oh iya, ini saya temennya. Lino.. lagi keluar.”

Kepala saya hampir berputar karena pusing, jantung saya berdegup dua kali lebih cepat dari kinerja jantung yang seharusnya. Merasa seperti ada deja vu yang menghinggapi saya, rasa bersalah saya itu seperti ditarik rantai menuju ke permukaan.

“Terus gimana?? Leo gapapa?! Besok saya pastikan kesana—”

“Dia gak sadarkan diri, padahal tadi seneng banget mau ngelukis. Katanya mau jadi seniman hebat, jadi dia setiap hari ngelukis. Ngelukis sampe kecapekan.”

Saya terdiam lama, ketika sebuah kalimat masih berlanjut.

“Karena katanya mau buktiin ke Papanya kalo dia bisa jadi orang hebat, pake kedua tangannya sendiri. Usahanya sendiri, soalnya dia harus bisa punya namanya sendiri tanpa harus dikaitin sama Papa dan keluarganya nya yang punya nama besar.”

Nada bicara ke saya itu amat dingin, tapi penuh perhatian. Intonasinya pun sangat datar sehingga sanggup membuat saya tidak berkutik.

“Menurut anda, gimana kalau Leo gak bisa ngelukis lagi?”

Saya lagi-lagi hanya menjadi pendengar.

“Anda sudah pernah melihat anak anda melukis sampai selesai? Proses demi proses?”

Belum, saya hanya dapat merespon di dalam hati.

“Anda sudah bisa membayangkan bagaimana Leo tidak bisa melakukan apa sesuai kehendaknya?”

“Saya mau bicara dengan Lino–”

“Anda udah pernah liat dia, kesusahan tidur di malam hari dengan tatapan kosong ke arah kanvasnya?”

Kalimat itu lagi-lagi berhasil memotong saya.

Tenggorokan saya terasa kering sekali, seperti padang pasir.

Telepon itu mati ketika saya hanya bilang saya akan kesana besok, untuk melihat keadaan anak saya.

Bahkan paginya, adik saya Theo terkejut bukan main ketika saya rela menunda meeting paling penting yang sudah saya tunggu selama ini hanya untuk pergi ke dusun kecil di sisi lain kota.

Palette [Changlix]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora